49. Kerinduan Tak Berujung

1K 137 101
                                    

Semua manusia pun tahu bahwa semua yang bernyawa pasti akan mati. Semua yang datang pasti akan pergi. Semua yang hadir pasti akan hilang. Namun, tidak ada satu pun manusia yang siap untuk melepaskan orang terkasihnya. Tidak ada yang mau merubah kehadiran nyata seseorang menjadi potret kenangan yang habis bisa dipeluk dalam kerinduan. Tidak ada yang rela melepaskan satu bagian indah dalam hati, lalu berganti dengan kekosongan menyakitkan.

Tidak ada yang siap berpisah dengan orang tercinta meskipun mati, pergi, dan hilang adalah hal yang pasti.

Begitu pula dengan Rindu. Dia sama sekali tidak siap untuk merelakan Angkasa. Ia tidak akan pernah siap. Namun, Tuhan justru mengambilnya di saat Rindu terperosok jurang luka. Malaikat Maut menjemput Angkasa di saat Rindu benar-benar membutuhkannya. Sialnya, tidak ada yang bisa gadis itu lakukan selain diam, membiarkan semesta mengantarkan Angkasa menuju keabadian. Hanya air mata yang bicara, memberi tahu semua orang sehancur apa Rindu saat ini.

Angkasa terbaring lelap di sana, dalam peti yang akan menjadi tempat istirahat terakhirnya. Wajah tampannya tampak berseri, seakan kepulangan ini adalah yang sangat ia dambakan. Riasan tipis membuat wajahnya berkali-kali lipat lebih tampan. Tuksedo hitam yang membalut tubuh tegapnya menjadi pakaian paling sempurna untuk ia bertemu Tuhan. Sepatu pantofel hitam akan menjadi alas paling mengkilap yang mengantarnya menuju surga. Sebuah cincin melingkar di jari manisnya, ikut menuju keabadian.

Cincin pertunangan Angkasa dengan Rindu.

Kiara berdiri di samping kursi roda Rindu. Tangannya terulur untuk mengusap bahu sahabatnya itu, memberikan kekuatan sebanyak yang ia bisa.

"Allah yang Maha Kuasa sudah berkenan memanggil saudara kita ini ke pangkuan-Nya. Jenazahnya akan kita serahkan kembali kepada tanah. Akan tetapi kita percaya bahwa Kristus akan mengubah tubuh saudara yang fana ini menjadi serupa dengan tubuh-Nya yang sangat mulia. Semoga Tuhan menerimanya dalam damai serta membangkitkannya untuk kehidupan yang kekal."

"Aamiin ...." ucap semua jemaat di sana.

Rindu mengaminkan dalam hati. Tak sedikit pun netranya beralih dari peti Angkasa. Setiap kali tubuh lelaki itu turun-menuju liang lahat-hati Rindu seperti dilempari batu besar. Ingin sekali Rindu menjerit, meminta semua orang mengangkat peti Angkasa kembali ke permukaan. Namun, lidahnya benar-benar kelu. Rongga dadanya terasa begitu pahit. Lagi dan lagi, hanya air mata yang membicarakan luka di hatinya.

Prosesi pemakaman berlangsung penuh tangis. Ketika peti Angkasa diperciki, diberikan dupa, ditaburi bunga, ditaburkan tanah, diberi tanda salib, lalu ditutup, air mata dan isakan terus mengiringi.

"Tuhan berilah dia istirahat kekal," ucap pemimpin pemakaman lagi.

"Sinarilah dia dengan cahaya abadi," sahut semua orang.

"Semoga semua orang yang sudah meninggal bisa beristirahat dalam damai."

"Aamiin."

"Dalam nama Bapa."

Selama hidupnya, Jayendra Angkasa Pramudya selalu berusaha menjadi manusia yang baik. Dia selalu menyayangi kedua orang tuanya. Dia selalu berterima kasih atas segala anugerah yang telah Tuhan kasih. Ia selalu berusaha membahagiakan orang-orang sekitarnya. Itulah yang membuat semua orang percaya bahwa Jayendra Angkasa Pramudya akan mendapatkan surga di sana. Dia kembali dengan tenang, sebagai Anak Tuhan yang mulia.

Sebagian orang mulai meninggalkan pemakaman. Yang bernyawa memang harus terus memperjuangkan kehidupan mereka. Yang tinggal hanyalah keluarga inti. Berat untuk kedua kaki mereka untuk meninggalkan Angkasa sendirian di sana.

Rindu turun dari kursi rodanya tanpa sepatah kata pun. Untungnya, Kiara tidak pernah meninggalkan gadis itu sejak semalam. Ia langsung membantu Rindu turun dan duduk di atas tanah, di samping Angkasa. Jemari lentik Rindu mengusap foto Angkasa. Hatinya amat berat, sampai napasnya terasa sesak.

Forever Only [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang