Angkasa memburu kantin begitu arloji di tangan kirinya menunjukkan jam makan siang. Lelaki itu tidak langsung memesan makanan seperti biasanya. Ia justru sibuk mengedarkan pandangan ke seisi ruang kantin, mengabsen satu per satu wajah mahasiswa Widyadharma yang sedang mengisi perut. Setelah menemukan sosok yang dicari, barulah Angkasa melanjutkan langkah dengan penuh percaya diri. Bahkan, sudut bibirnya terangkat tinggi, memperlihatkan lesung pipi yang selalu menjadi daya tarik tersendiri.
"Gue duduk di sini, ya?" ucap lelaki itu seraya mendaratkan bokong di bangku paling ujung.
Dua orang gadis yang sudah duduk lebih dulu di sana pun menoleh. Yang satu langsung membuang muka lagi seraya geleng kepala, yang satunya lagi menatap Angkasa tak suka.
"Lo lagi, lo lagi!" keluh Rindu seraya mengaduk kuah lontong kari di hadapannya. Untung makan siangnya sudah selesai. Jika masih setengah jalan, sudah pasti selera makannya hilang.
"Kenapa? Gak nyangka gue bakalan duduk di sini, ya?" tanya Angkasa seraya mencolek tangan Rindu sekilas.
Secepat kilat Rindu kembali menatap Angkasa. Kali ini disertai dengan pelototan menyeramkan. "Gak usah sentuh-sentuh!"
"Galak amat," dengkus Angkasa. Ia menarik kembali tangannya dan siap bangkit dari sana, hendak memesan makanan sebelum Rindu pergi. Namun, pandangannya tak sengaja dengan sorot tajam Kiara. "Ngapain juga ini anak ngelihatin gue kayak gitu?"
"Perasaan meja kosong masih banyak, deh. Ngapain Kak Angkasa duduk di sini?" tanya Kiara dengan nada tak suka.
"Ya, pengen aja. Kan, gue kenal sama Rindu, sama lo juga. Daripada makan sendiri, bengong gak jelas."
"Kalau begitu ajak siapa, kek. Kan, Kak Angkasa punya temen banyak. Kak Tristan atau Kak Davka juga bisa. Yang penting jangan nempel sama Rindu mulu."
"Tristan dipanggil rektor, gak tahu ngomongin apaan. Davka lagi ada kelas." Angkasa melipat tangan di depan dada. "Lagian, apa salahnya gue nempel sama Rindu? Lo gak suka?"
"Jelas enggak, lah! Kan, Rindu udah punya Juanda!"
"Belum resmi! Masih bisa ditikung!" sewot Angkasa sembari bangkit dari duduknya. Ia berjalan menuju penjual bakso dengan langkah yang dientakkan keras ke lantai.
Melihat itu, Kiara hanya bisa mendengkus kasar. Ia langsung menyeruput es jeruknya untuk menekan rasa kesal.
Juanda sudah menceritakan semuanya. Bagaimana Angkasa menganggu kencannya bersama Rindu padahal mereka sudah tidak berjumpa cukup lama, Angkasa yang selalu mengganggu sleep call mereka berdua, juga Rindu yang mengadu mendapatkan kiriman makanan yang berbahan buah persik. Juanda juga berterus terang akan perasaan cemburunya. Bahkan, ia sempat merasa berkecil hati jika harus bersaing dengan Angkasa. Namun, Kiara berhasil meyakinkan lelaki itu untuk terus maju.
Baiklah, Kiara akui bahwa dia sempat mendukung Rindu untuk jujur akan perasaannya pada Angkasa. Namun, setelah berpikir ulang, sepertinya sahabatnya itu tidak akan begitu bahagia menjadi kekasih seorang bintang kampus. Ke mana pun Angkasa melangkah, dia selalu menjadi magnet kuat bagi kaum Hawa. Membayangkan Rindu harus berbagi kekasih, rasanya cukup menyesakkan.
"Hai, Rindu!"
Gadis itu terlonjak saat telinga kanannya ditiup. Ketika menoleh, Rindu langsung bertemu dengan netra jernih Juanda. Seperti biasa, lelaki itu selalu menatap Rindu dengan penuh binar.
"Akhirnya, Kak Juanda dateng juga," ucap Kiara sambil mengembuskan napas lega. "Bawa Rindu pergi dari sini, Kak. Sekarang! Nanti ada yang nyulik!"
Lelaki jangkung itu terkekeh geli. "Siapa yang mau nyulik?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Only [Tamat]
RomanceMengagumi diam-diam akan terasa lebih sulit ketika sosoknya ada dalam jangkauan. Itulah yang Rindu rasakan. Angkasa berada di dekatnya, tetapi tidak bisa digapai. Selain karena cintanya yang bertepuk sebelah tangan, masa lalu juga menggerogoti hati...