Angkasa memiringkan tubuhnya. Dengan mata terpejam, lelaki itu meraba permukaan kasur. Dalam hitungan sedetik, ia membuka matanya. Angkasa terbelalak begitu menyadari tidak ada siapa-siapa di sampingnya. Dia pun segera melompat dari kasur dan berlari ke luar kamar. Angkasa tidak peduli dengan langkahnya yang sempoyongan dan risiko menabrak barang. Ia hanya ingin memastikan tidak ditinggal sendirian di apartemen.
"Rindu? Rin?" panggil lelaki itu seraya terus melangkah. Rasa takut langsung menyelimuti dadanya begitu tidak ada sahutan apa pun. "Rin, lo gak ninggalin gue, kan? Rindu!"
Seseorang datang dari arah dapur. Matanya membulat, menatap Angkasa penuh tanya. Di tangan kanannya ada sendok sayur yang tampak mengepul. Apron hitam yang membalut tubuhnya menjuntai sampai lutut.
"Lo manggil gue?" tanya orang itu dengan polosnya.
Bukannya menjawab, Angkasa justru menarik tubuh mungil itu ke dalam dekapan. Ia mengembuskan napas lega, senang dengan fakta bahwa dirinya tidak sendirian di apartemen. Rindu tidak pergi, dia masih ada di sana.
"Gue kira lo pergi, ninggalin gue," lirih Angkasa.
Rindu tersenyum tipis. Tangan kirinya terulur untuk membalas pelukan Angkasa. "Gue gak ke mana-mana, kok. Cuma ke dapur."
"Kenapa gak bangunin gue?"
"Karena tidur lo pulas banget. Gue gak tega banguninnya."
Angkasa melerai pelukan mereka. Dia meraup pipi tembam Rindu dan menatapnya lekat-lekat. "Pokoknya, mulai sekarang, lo harus kasih tahu gue kalau mau pergi. Sekalipun ke dapur, lo tetep harus kasih tahu gue."
Bukannya tersanjung, Rindu justru berdecih mendengar penuturan Angkasa. "Gak usah berlebihan gitu, deh. Gue ke dapur juga buat bikinin makan malam."
"Emang bikin apaan?"
"Bikin ...." Mata Rindu kembali melotot. Tanpa menjawab pertanyaan Angkasa, ia segera berlari menuju dapur. "Bubur gue! Pasti gosong, nih! Gara-gara lo, ah!"
Kekehan renyah lolos dari bibir Angkasa. Ia geleng kepala melihat tingkah Rindu. Caranya berlari sangatlah lucu bagi Angkasa. Setelah mengusap wajahnya kasar, ia pun segera mengekori Rindu menuju dapur. Tidak menghadap kompor secara langsung, Angkasa memilih berdiri bersandar pada tembok dan memperhatikan kekasih hatinya dari jauh.
Ini kali pertama dapur di apartemen Angkasa digunakan untuk memasak. Ternyata, butuh dua tahun setengah untuk panci merah muda yang sang bunda bersentuhan dengan kompor listrik. Butuh waktu selama itu pula apron hitam yang selalu bersembunyi di dalam kabinet dinding akhirnya menghirup udara bebas. Butuh waktu selama itu untuk Angkasa merasakan sensasi ini, merasa dicintai dengan cara dibuatkan makanan oleh seseorang yang mengisi hatinya.
"Untung aja gak gosong. Coba kalau sampai bablas, kita mau makan apa?" ucap Rindu seraya melirik Angkasa sekilas.
"Tinggal delivery aja, Rin. Biasanya juga gue makan malam sama pizza," sahut Angkasa dengan enteng.
"Siapa, ya, yang tadi siang ngerengek gak mau makan karena sakit tenggorokan?" Gadis itu melayangkan tatapan sinis. "Lagian, bubur paling enak, tuh, buatan sendiri. Kalau pesen begitu, pasti nyampenya udah dingin. Beli yang instan, banyak pengawetnya."
Sudut bibir Angkasa terangkat kian tinggi. Jadi, begini rasanya dicintai dengan segenap hati yang tulus? Betapa bodohnya Angkasa yang menyia-nyiakan Rindu dulu.
"Cuci muka, sana. Terus, bantuin gue bawa mangkuk sama panci buburnya. Simpen semuanya di meja depan."
Tanpa ragu, Angkasa pun melangkah menuju wastafel. Ia mencuci muka di sana. Hanya sekilas, untuk mengusir kantuk yang masih bersarang di matanya. Dia juga tidak peduli dengan sabun muka. Yang penting, penampilannya lebih segar sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Only [Tamat]
RomanceMengagumi diam-diam akan terasa lebih sulit ketika sosoknya ada dalam jangkauan. Itulah yang Rindu rasakan. Angkasa berada di dekatnya, tetapi tidak bisa digapai. Selain karena cintanya yang bertepuk sebelah tangan, masa lalu juga menggerogoti hati...