12. HALTE

10 2 0
                                    

Sore hari aku memutuskan untuk pergi ke luar mengisi suntuk,. seharian ini aku hanya berdiam diri dirumah.

"Ma, aku mau keluar,"

"Bawa mobil kayanya mau hujan."

"Nggak ma, gak bisa nikmatin pemandangan nanti."

"Nanti kalau kehujanan sakit."

"Anaknya mama Nova sama papa Noval kan strong." kataku yang terselip pujian untuk merayu mama.

"Ah, bisa aja bujuknya, ya udah hati hati."

"Assalamualaikum, dadah mama."

Setelah menyalimi tangan halusnya aku melambaikan tanganku. Kemudian bergegas menuju ke garasi.  Aku malajukan motor ku pelan. Mencoba menikmati pemandangan alam sekitar. Tapi bukan Pemandangan hutan nan asri namun  pemandangan gedung pencakar langit dan kemacetan yang tersedia di depanku.

Namun beruntung dengan sore ini. Kemacetan belum menghiasi kota Metropolitan ini. Satu butir bening membasahi tangan ku. Aku mendongakkan kepala ku ke atas. Butir bening itu membasahi seluruh wajahku dan tubuhku dengan cepat. Aku segera mencari tempat berteduh. Kulihat halte di sebrang sana. Aku segera menuju kesana.

"Huff, doanya mama manjur banget!"

Aku duduk di halte sembari menggesek-gesekkan lenganku, mencoba menghangatkan rasa dingin yang menusuk tulang ini.

"Ayah.....ayah...."

Lirihan yang di selingi dengan Isakan itu membuat fokus ku teralihkan. Di pojok halte ini seorang gadis sedang duduk memeluk lutut. Badannya bergetar. Aku seperti mengenali surai itu, aku segera mendekatinya.

"Ayah.....hujan......tolong..... Cinta..." lirih gadis itu dengan suara bergetar. Aku mendekati Cinta. Ia semakin memeluk lututnya.

"Hai. Kamu kenapa?"

Tubuh kecil itu semakin mundur kebelakang seolah ketakutan dengan kehadiranku. Cinta semakin menenggelamkan kepalanya di antara kedua lututnya.

"Hai, tenang ada gue disini, lo nggak sendirian." hiburku, lalu meraih tubuhnya dalam pelukanku. Aku pikir ia akan menolak. Ternyata ia hanya diam.

"Tenang Cinta, lo pasti baik baik saja. Ada gue disini." ucapku menenangkan sembari mengelus punggungnya yang mulai bergetar lantaran isakan tangisnya yang mengeras. Aku memeluk erat tubuh kecil itu untuk menyamarkan suara hujan dan juga membuat Cinta merasa sedikit tenang. Setelah hujan mereda. Tubuh Cinta tak lagi bergetar seperti tadi. Ia mengangkat wajahnya yang pucat. Mataku menatap matanya yang masih menyisakan rasa ketakutan yang luar biasa. Tangan mungil itu mendorong dadaku membuat aku terjengkang.

"Kamu takut hujan?"

"Gu..gu....gue."

"Gue anterin lo pulang."

Kataku kemudian. Aku membuka ponselku memesan kan taksi online buat dia. Tak mungkin kubiarkan tubuh lemah itu menahan dingin di atas motor. Aku melepaskan jaket yang melekat pada tubuhku. Kemudian memakaikannya pada tubuh pucat itu.

"Makasih."

Aku mengangguk, melihatnya seperti ini membuat hati kecilku teriris. Entah apa yang menyebabkan Cinta selemah ini. Apa yang menyebabkan gadis yang songong itu menakuti hujan sampai seperti ini. Setelah menunggu beberapa menit dengan diselimuti keheningan. Sebuah mobil berhenti di depan kita. Segera saja aku membantunya.

"Jangan ngikutin gua. Gua gak papa. Gua bisa pulang sendiri." katanya seperti tau apa yang ada di pikiranku. Aku mengangguk mengiyakan. Aku biarkan saja mobil itu menjauh, lalu aku langsung melajukan motorku mengikutinya.

"Semoga dengan jarak ini Cinta tak menyadarinya."

Aku terus mengikuti kemana mobil itu membawa Cinta dengan jarak yang kujaga agar tak ketahuan. Aku mengernyit ketika mobil itu berjalan tak sesuai dengan jalan ke rumah Chelsy. Aku terus mengikutinya. Mobil itu terparkir di halaman sempit sebuah rumah minimalis.

Terlihat ada seseorang keluar dari rumah itu. Kemudian tubuh itu di tarik paksa oleh seseorang yang tadi membuka pintu. Aku panik sendiri. Tapi aku gak boleh gegabah. Aku harus mencari tahu siapa orang itu dan apa yang sebenarnya terjadi dengan Cinta.

Aku memutuskan pulang. Cinta gadis tomboy itu ternyata menyembunyikan luka yang dalam. Tatapan dinginnya menyimpan sesuatu yang sama sekali tak di ketahui siapapun kecuali dirinya dan Tuhannya. Aku pulang dengan keadaan basah membuat mama memarahiku karena tak menurut.

"Makanya mama jangan bilang hujan. Kan hujan beneran. Kan Raka pinginnya naik motor!"

Papa menggelengkan kepalanya melihatku, tingkahku yang tak terima ketika di marahi mama.

"Udah ma jangan lama lama marahin Rakanya. Kasihan Raka, biar mandi dulu."

Aku tersenyum kemudian menghampiri papa dan menyalimi tangannya.
Aku belum sempat menyalimi tangan papa tadi. Karena mama menghalangi ku di depan pintu dan mengintrogasi ku. Emang disini mama yang mengekang ku bukan papa. Papa selalu di pihaku. Aku tersenyum ketika mama kalah telak dengan papa. Dan dengan terpaksa membiarkan aku lepas dari aksi pengintrogasian ini.

Aku merebahkan tubuhku ketika sudah membersihkan badanku. Aku memakai jaket yang tebal untuk menghilangkan rasa dingin. Pikiranku selalu tertuju pada Cinta.

Chel, gue minta no wa nya Cinta.

Pesan yang ku kiriman baru saja itu masih centang satu. Aku menunggu cukup lama akhirnya ada suara notifikasi dari hpku.

Dia benar-benar memberiku sebuah nomer. Aku mencoba mengirim pesan kepadanya. Setelah dua jam menunggu pesan ku di baca namun tak di balas. Aku melempar ponselku ke sembarang arah.

"Apa apaan dia tu, gue dah nunggu dua jam dan cuma di baca!"

Batinku berontak ingin berteriak kesal dengan gadis itu. Tapi disisi lain hatiku, aku harus bersabar. Cinta terlalu spesial untuk kudapatkan dengan mudah. Aku harus sedikit berjuang. Atau mungkin banyak.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Jangan lupa vote and comment ya. Makasih banyak udah mau baca ya. Mampir ke cerita aku yang lain juga ya.

Not her [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang