51. SURAT

10 2 0
                                    

Usahakan vote sebelum membaca

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Happy Reading

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Matahari terasa menyengat, bahkan panasnya menembus pakaian yang aku kenakan. Meski punggung ini terasa terbakar. Namun itu tak membuatku meninggalkan tempat ini.

Tanganku terulur untuk membersihkan dedaunan yang mengotori gundukan tanah di depanku.

Setelah semuanya bersih, aku menaburkan bunga tujuh rupa di atasnya, menutupi bunga bunga yang sudah tertabur sebelumnya. Lalu menyiramkan air pada gundukan tanah itu perlahan.

Aku hanya terdiam terpaku pada makam Bang Rafka, tanpa mengatakan sepatah katapun, bahkan air mataku pun tak lagi menetes. Terlalu kelu rasanya untuk sekedar mengatakan sesuatu, bahkan untuk memanggil namanya pun lidah terasa  kaku.

Aku hanya mampu mendoakannya dalam hati, lidah ini terlalu kaku untuk merapal doa. Bukan apa-apa, rasa-rasanya memang aku belum bisa menerima ini semua.

Aku memandangi nisan di ujung gundakan tanah itu sekilas, sebelum akhirnya beranjak darisana. Langkah ini terhenti kala melihat seseorang berdiri mematung di pintu pemakaman.

Cowok itu berdiri membelakangiku. Tapi perawakan dari seseorang itu amat familiar. Cowok tersebut berbalik. Aku menatapnya datar kemudian melaluinya tanpa berniat untuk bersitatap dengannya apalagi harus menyapanya.

"Gue tahu lo ngerasa kehilangan, tapi abang lo ga bakal suka lihat lo yang ngelakuin hal gila seperti ini."

Kata-kata itu mampu membuat langkah ini terhenti. Cowok tersebut memang paling bisa mengalihkan perhatian. Aku hanya menghentikan langkah tanpa membalik badan untuk menatapnya,
"Gue cuma takziyah? Salah?"

Not her [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang