Dengan langkah malas aku menapaki halaman luas yang sudah tak aku datangi hampir tiga mingguan ini.
Tempat ini menjadi salah satu tempat yang kubenci sekarang. Di dalamnya banyak makhluk makhluk munafik. Aku tak pernah menceritakan hari-hariku kecuali tentang Andri bukan? Itu karena tak ada cerita yang menarik dari mereka.Aku tak pernah akrab dengan siapapun, susah untuk berbaur, itulah mengapa
aku memilih pindah agar bisa bersama Andri, teman masa kecilku. Ada banyak kejadian yang membuatku merasa tak ada teman yang baik kecuali teman masa kecil. Tapi sepertinya untuk Cinta menjadi yang terkecuali.Lalu tentang Chelsy yang mengaku menjadi sahabat kecilku tak juga aku ingat, walau sudah berusaha keras untuk memutar memori tapi tetap saja aku tak merasa mengenalnya dulu.
Langkah ini terhenti lantaran tubuhku di rengkuh seseorang, tepukan halus beberapa kali kurasakan di punggung. Aku tak tersenyum, namun tak juga menolak, aku membiarkannya saja sampai ia mengurai rengkuhannya.
"Akhirnya lo sekolah juga? Udah sembuh? Gimana keadaan Tante Nova? Katanya dia sakit?"
Aku menatapnya datar kemudian berlalu begitu saja, baru saja menginjakan kaki di gerbang sekolah ini, tapi cowok tersebut menyerangku dengan berbagai pertanyaan basa-basi.
Ia mengejar langkahku, berusaha berjalan beriringan menuju ke kelas. Bangku di sampingku terlihat kosong padahal hari ini aku berangkat cukup siang, bahkan tepat ketika aku memasuki kelas bel berdentang.
"Cinta di keluarkan dari sekolah, sedang Chelsy pindah sekolah setelah kejadian itu, kayanya sih Kak Erdwin deh yang bersikeras buat pindahin dia." jelasnya panjang lebar aku mengangguk saja.
"Nanti lo ada waktu? Kita ketemu di cafe biasa."
"Kenapa ga disini aja?"
"Kita butuh privasi,"
Keadaan kelas sudah mulai ramai seperti pikiranku saat ini.
"Gue tahu kata sabar yang gue ucapkan gaakan ngaruh buat lo. Gak akan buat lo langsung semangat, tapi karena gue orangnya ngeyelan gue tetep mau ucapin, yang sabar ya bro."
Tepukan halus aku rasakan di pundak kiri, aku mendongak lantas sedikit menarik sudut bibir ini dengan menganggukkan kepala. Pembicaraan kami terhenti lantaran suara sepatu pantofel yang menggema di koridor. Terdengar menggema padahal aku yakin suara itu masih jauh.
"Ada PR, gue udah wa lo semalem kan? belom lo baca kan? Ga ada dispensasi dari Bu Aliya."
"Bodoamat, di hukum ya tinggal di jalanin, di marahin di dengerin, di skors ya enak gausah berangkat kesini, di keluarin ya udah gausah sekolah."
"Segitunya lo ngebenci dunia?"
"Gue bukan benci, gue hanya mengikuti arus, biar gue gak merasakan sakit yang sama ketika gue ngecoba melawan arus itu."
"Berarti lo tetap ngikut kalau arus bawa tubuh lo tertarik ke dalamnya?"
" Yah,"
"Berarti lo pasrah aja ketika tubuh lo di tenggelamkan arus begitu saja?"
"Gue udah bilang, gue mengikuti arus bukan pasrah dengan arus itu."
"Melawan arus memang butuh usaha yang berat, mungkin melawan rasa sakit juga, tapi mengikutinya juga bukan pilihan yang baik. Tubuh lo bisa terluka karena terombang ambing, terantuk bebatuan sungai, bahkan bisa tertabrak oleh barang barang yang hanyut jika lo gak ngehindar. So, buat menghindar lo butuh melawan arus bukan?" pungkas Andri dengan terkekeh kecil. Aku langsung terdiam, selain karena Bu Aliya telah mendudukan dirinya di depan sana, juga karena jika di pikir-pikir perkataan Andri ada benarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not her [On Going]
Teen FictionNamaku Raka, murid baru di SMA NUSABANGSA. Aku berpikir, menjadi murid pindahan akan menyenangkan, tidak ada yang mengenalku sebelumnya, hingga aku mudah berbaur, dan mungkin bisa dapat teman baru. Nyatanya aku masih sangat tidak mahir mencari tema...