PROLOG

357 33 1
                                    

Disela-sela aroma anyir yang menyengat, indra penciumannya menangkap aroma tak asing. Raksi khas perpaduan air hujan dan tanah, petrikor namanya. Selain itu, suara yang telinga jaring turut memvalidasi terkaan. Tik Tik Tik, jelas itu suara rintik hujan.

Perempuan itu mengatakan kebenaran, bahwa 'mata tertutup' dapat meledakkan imajinasi. Buktinya, kini ia tengah berandai-andai menjadi penonton pertunjukan musik orkestra. Entah mengapa, suara hujan kali ini terdengar merdu dan menggelitik. Apa karena sebentar lagi dirinya akan mati?

"Aromanya busuk, perutku seperti diaduk-aduk."

Lelaki muda itu berdecih pelan. Baginya, ujaran 'Si Kerbau Afrika' tadi bak self-deprecating. Dasar tak sadar diri! Jelas-jelas aroma tubuhnya jauh lebih busuk, seperti bangkai yang diselimuti kapur barus.

"Tidak bisakah kita membunuhnya sekarang?"
"Atasan belum memberi perintah."

Si Kerbau Afrika berdecak malas. "Toh, dia akan mati juga," gumamnya. Secara tak langsung mengandung makna, 'renggut saja nyawanya sekarang'. Sayangnya, ia tak punya kuasa untuk mewujudkan keinginan. 'Si Anjing' terlalu patuh pada 'Siput Beracun', atasan mereka.

Frustasi, Kerbau Afrika mengamuk dan melampiaskan kekesalannya kepada si tawanan. Dipukulnya si lelaki muda dengan balok kuat-kuat. Berkali-kali hingga wajahnya hancur, babak belur.

Matanya tertutup, tangannya terikat, kakinya patah. Kekuatannya jelas-jelas lumpuh dan tak ada yang dapat dilakukan selain pasrah. Diam-diam air matanya jatuh, ia takut. Bukan takut pada preman-preman busuk yang menyandera dirinya. Tetapi takut tak memiliki kesempatan.

Kesempatan untuk mengucapkan perpisahan.

KEMBALI HIJAU: Bumi DhanurendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang