Chapter 39

242 15 13
                                    

"Toko Musik dan Masa Lalu"
...


Orang dewasa berkata, teman mudah didapat apabila kau orang yang ceria dan menyenangkan karena kepribadian merupakan 'umpan' dalam bersosialisasi. Ucapan itu menggerakan hati kecil seorang anak perempuan yang pendiam dan merubahnya menjadi orang berbeda hanya dalam semalam.

Gadis itu menginginkan banyak teman, mengikuti jejak sang ibu yang kabarnya memiliki lebih dari seratus teman. Bapak penjual bakso keliling, ibu-ibu kompleks yang hobi bergosip, sampai dengan anak-anak bau matahari di lapangan, semuanya ia dekati agar dapat berteman. Saat itu, mimpinya adalah menjadikan siapapun teman tanpa memandang gender, pekerjaan, ataupun usia.

Namun, tak ada satupun dari mereka yang mau berteman dengannya. Bapak penjual bakso tak nampak lagi batang hidungnya, ibu-ibu kompleks menganggapnya pengganggu dan mengusirnya, lalu anak-anak yang menguasai lapangan terang-terangan merisaknya. Sebenarnya, kepribadian atau keberuntungankah yang lebih berpengaruh dalam mendapatkan teman?

Bahkan, sampai usianya dua puluh delapan, hanya Calvin yang mau berteman tulus dengannya. Sementara kebanyakan orang menganggapnya perempuan gila dan aneh.

Jeanna tidak akan lupa peristiwa enam belas tahun lalu, saat ia baru saja menjadi murid kelas satu SMP. Aksi tidak terpujinya ini gagal total karena seorang saksi yang buka mulut. Andai saja orang itu tak melaporkan perbuatannya, ia pasti bisa bergabung dengan genk gadis populer di sekolahnya. Jelas masa-masa suram tanpa teman tidak akan pernah dialaminya.

Jeanna memerhatikan sekeliling diam-diam, mencari orang yang sekiranya memiliki kesempatan memergokinya. Jeanna muda tidak tahu wajah orang itu, sebab kepalanya tak berhenti menunduk karena malu. Ketika dirinya yang masih SMP berhasil menyelipkan satu CD Mariah Carey ke dalam jaket, ia yang saat ini pun dapat menghembuskan napas lega.

Pencurian memang tidak dibenarkan. Tetapi, Jeanna ingin dirinya di masa lalu menjalani hari yang berbeda. Setidaknya, tak ada sorakan 'si pencuri' yang akan didengar dalam kurun waktu tiga tahun.

"Hei, kau, anak SMP!"

Bukan hanya dirinya sewaktu muda yang terkejut, Jeanna yang sekarang pun ikut terperanjat ketika seorang lelaki mencoba memanggilnya, atau lebih tepatnya 'menahan kepergiannya'.

Kepala Jeanna sontak menengok, jemarinya berusaha menggapai apapun milik sang lelaki—bagian tubuh ataupun pakaian—guna menghentikannya. Sayang, refleksnya kalah cepat dibanding langkah kaki sang saksi, membuatnya hanya mampu menggenggam angin. Dengan begini, masa lalu ... tidak berubah.

"Kembalikan CD yang kau curi dan minta maaf."

"A-aku ti-tidak mencuri ap-apap-ppun."

Gadis dua belas tahun itu jelas tidak bisa berbohong. Selain suara yang bergetar, tangannya yang terus menutupi bagian perut memperjelas segalanya.

"Apa? Ada yang mencuri?"

Pemilik toko yang tidak terlalu sibuk di meja kasir buru-buru datang menghampiri Jeanna muda yang masih kukuh, bersikeras tak mencuri apapun.

"A-aku tak mencuri apapun."

"Kalau begitu, biar kuperiksa jaketmu. Akhir-akhir ini barang jualanku memang banyak yang hilang."

"Jangan merusak masa depanmu. Kembalikan barangnya dan minta maaflah. Paman ini tak akan melaporkanmu ke polisi jika kau mengaku."

Jeanna—saat ini—mengalihkan perhatian ke arah saksi yang baru saja berbicara—membujuknya. Disaat itulah pupil matanya melebar dan sadar bila takdir tak pernah main-main.

"Aku tidak mencuri apapun, Paman. Sungguh."

Laki-laki yang menahannya menghembuskan napas panjang. "Saksinya bukan hanya aku. Hei, kau juga melihatnya mengambil sesuatu dari rak CD, kan?"

"Y-ya?" Jeanna tergagap, ia mencoba untuk sadar dari lamunan yang menenggelamkannya. "Apa katamu tadi?" tanyanya.

Tapi, belum sempat menerima balasan, Jeanna sudah lebih dulu menambahkan. "Ya, aku melihatnya. Kembalikan apa yang seharusnya bukan milikmu," lirihnya.


... ...


Tring

Lonceng pintu berbunyi. Terlihat sepasang suami-istri memasuki toko musik dengan tergesa-gesa. Jeanna bak menyaksikan kehidupan masa lalunya dari mata pihak ketiga. Yang ia lihat bukanlah raut kemarahan di wajah dua orangtua—yang saat itu ia kira—melainkan kecemasan dan rasa bersalah.

"Sampai kapan kau ingin tinggal disini?"

Jeanna memalingkan wajahnya, menatap laki-laki yang sudah tiga hari tak ia temui, Bumi. Meskipun Brawijaya adalah dosennya, lelaki itu tak berniat menyapanya. Ia memutuskan untuk pura-pura tak menyaksikan kejadian hari ini.

"Sebagai gantinya, traktir aku popcorn di ujung jalan sana."

Alis Bumi spontan naik sebelah. "Ganti dari apa?"

"Aku sudah membantu meyakinkan pencuri kecil itu untuk mengakui perbuatannya."

"Dia mengaku karena sadar sudah berbuat salah— kenapa kau mencebik begitu? Ya sudah, aku akan membelikanmu popcorn."

Apa yang dikatakan Jeanna memang benar. Di ujung jalan yang dimaksud, ada sebuah gerobak yang menjual popcorn warna-warni.

Jeanna lekas melanjutkan langkahnya setelah menerima popcorn, seolah tidak berniat melupakan orang yang telah mentraktirnya. Tak lupa Bumi mengucapkan terima kasih, kemudian menyusul Jeanna yang memang belum terlalu jauh.

Ia hendak melontarkan kalimat sarkas, tetapi lekas diurungkan niatnya saat melihat Jeanna menangis dengan mulut menggembung, penuh dengan popcorn. Keningnya sontak mengerut heran.

"Apa sebegitu enaknya sampai-sampai kau meneteskan air mata?"

Jeanna menganggukkan kepalanya, masih belum berhenti menangis. "Ya, enak sekali."

"Kau ... jangan bilang ini pertama kalinya kau makan popcorn?"

Kepala Jeanna lagi-lagi mengangguk. "Y-ya, huaaa ... ini kali pertama kalinya aku makan popcorn jalanan, huaaa ... uhuk, uhuk." Suara tangisannya semakin keras. Ini memang kali pertama ia makan popcorn yang dijual di pinggir jalan. Biasanya ia makan popcorn bioskop atau membeli versi mentah di supermarket dan membuatnya di rumah.

"Hei, pelan-pelan. Tidak ada siapapun yang akan mencuri makananmu."

Bumi berniat menepuk-nepuk punggung Jeanna, namun langsung ia urungkan begitu ingat mereka tak memiliki hubungan apapun lagi.

"Kenapa kau tidak menegurnya? Kurasa, kau sudah lebih dulu melihatnya daripada aku."

Bibir Jeanna kembali mencebik, padahal sebelumnya ia sudah tenang. Ia merentangkan kedua tangannya di hadapan Bumi yang wajahnya sedatar dinding, kemudian memeluk erat Bumi, menangis di pundak si lelaki.

Jeanna tidak mungkin mengatakan bila anak perempuan yang mencuri itu adalah dirinya. Ia juga tak mungkin mengatakan alasan, bahwasanya ia ingin masa depannya berubah.

"Huaaa ... Bu-Bumi, ingusku mengenai jaketmu, huaaa."

"Ha?"

Tidak ada yang dapat Bumi lakukan selain menghembuskan napas panjang. Padahal sebelumnya ia kira Jeanna akan menjawab rasa penasarannya. Ternyata, yah ... hanya mengadu tentang ingusnya.




...

Oh ya, yang mau kasih dukungan biar aku makin semangat menulis, bisa kunjungi link ini:

https://saweria.co/vgirlsworld

Terima kasih.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 10, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KEMBALI HIJAU: Bumi DhanurendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang