Chapter 9

108 21 4
                                    

"PECANDU PERMEN KARET"

"PECANDU PERMEN KARET"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

... ...

Tak Tak Tak

CKLAK

Laki-laki muda itu menoleh, melirik seorang berjenis kelamin sama—jelas belasan tahun lebih tua—yang baru saja meninggalkan kamarnya. Dari gerak-gerik saja, jelas housemate-nya ini sedang terburu-buru. Apa ada kasus baru yang harus segera ditangani? Jika boleh jujur, laki-laki pertengahan tiga puluhan itu sebetulnya selalu terlihat sibuk. Pergi paling pagi dan pulang paling malam.

"Paman sudah mau berangkat kerja?"
"Oh iya. Ada perempuan gila yang harus dibebaskan."
"Perempuan gila? Bukankah lebih baik diserahkan ke Dinas Sosial?"

Laki-laki itu, Cakrawala namanya, yang diketahui bekerja di kantor polisi sebagai penyidik, menggaruk-garuk kepalanya.

"Maksud Paman, bukan gila dalam artian sesungguhnya. Dia hanya ... yah, gila saja." Cakrawala bingung menjelaskannya. Hanya kata 'gila' yang terbesit dalam benaknya. Perempuan yang masih berada di dalam sel tahanan itu terlihat misterius karena tak memiliki identitas jelas

Keponakannya mengangguk paham. Tak berapa lama, dua mangkuk bubur ayam tersaji di atas meja makan. Aroma gurihnya menusuk hidung sang penyidik. Sebenarnya, sejak semalam perutnya belum menerima santapan—selain kopi hitam—apapun.

"Paman tidak mau makan dulu? Kebetulan hari ini menu sarapannya 'bubur ayam', makanan kesukaan Paman."

Bubur ayam di atas meja terlihat menggoda. Asapnya mengepul-ngepul bak kentut kereta api. Keponakannya ini, Bumi Dhanurendra, memang pandai merayu lawan bicara.

"Tidak ada yang bisa menolak jika itu menyangkut 'kesukaan'."

Bunyi kursi yang berderit menyunggingkan senyum tipis si pemilik nama indah, Bumi. Ditatapnya Cakrawala yang tengah memakan bubur dengan lahap. Hatinya menghangat. Lantas, iapun melakukan hal yang sama.

"Oh ya, Bumi, apa menurutmu ini terdengar masuk akal?"

Bumi menaikkan sebelah alisnya, menatap Cakrawala yang nampak ragu melanjutkan.

"Seorang dua puluh delapan tahun tapi tidak memiliki identitas pasti."
"Maksudnya, tidak memilik KTP?"

Cakrawala mengangguk. Setelah dipikir-pikir, fenomena kemarin itu memang aneh. Jelas tidak ada orang yang dapat hidup tanpa kartu identitas. Bahkan untuk menipu saja para berandalan ini harus membuat kartu penduduk palsu.

"Dia juga membawa uang seratus ribu yang belum pernah kulihat. Awalnya Paman kira itu uang palsu atau mainan. Tetapi setelah diselidiki, ternyata itu uang asli."
"Paman sedang membicarakan perempuan gila itu, ya?"

Benar! Keponakannya ini memang cepat tanggap. Kadang, karena kelebihan itulah Cakrawala jadi tak bisa berbohong. Kepalanya spontan mengangguk, membenarkan.

KEMBALI HIJAU: Bumi DhanurendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang