Chapter 32

91 14 26
                                    

"Janji Temu"
... ...



Hujan turun begitu Jeanna dan Bumi masuk dan duduk bersisian di kursi belakang bus. Melihat kondisi dalam bus yang sepi—tak sampai sepuluh—Jeanna jadi teringat akan masa depan, di mana bus dalam kota ataupun angkot perlahan mulai kehilangan penumpang. Hal seperti ini terjadi karena kendaraan pribadi membludak serta dimulainya era ojek online.

Dari balik jendela yang basah nampak beberapa pengendara motor mulai menepi di teras-teras ruko maupun di bawah pohon. Sebagian memang berniat berteduh, namun separuhnya hanya mampir sebentar guna mengenakan jas hujan.

"Apa yang sedang kau lakukan? Mencari harta karun? Tidak ada pemandangan menarik di Jakarta. Hanya ada gedung-gedung tinggi serupa."

Jeanna berdecih. Kepalanya menyerong ke samping, mendapati Bumi yang tengah berbalas pesan di ponsel Nokia 2100 layar monokrom miliknya.

"Aku tahu itu," celetuknya dan kembali memalingkan muka. Seolah tak menanggapi ucapan Bumi, Jeanna kembali menikmati malam yang mengabur seraya memikirkan bagaimana caranya ia bisa menangkap basah Parama.

"Apa dia menggodamu?"
"Siapa?"

Jeanna lagi-lagi menengok dan masih memergoki Bumi yang sibuk dengan ponselnya.

"Parama."

Selepas Bumi berujar, pandangan mereka saling bersirobok. Di dalam keheningan, kening Jeanna mengerut sejenak. Lalu setelahnya, begitu isi kepalanya berhasil menemukan kejadian yang hampir terlupakan, kerutan di keningnya semakin kusut.

"Ya, benar. Dia masih saja kurang ajar. Apa kau tidak berniat menonjok wajahnya?"

"Tidak."

"Oh, yang benar saja!"

Jeanna merasa tekanan darahnya meninggi saat mendengar jawaban yang dikeluarkan Bumi.

"Kita berdua sepertinya memang tidak cocok, ckck," kata Jeanna sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Jika tak ada jawaban menghibur, untuk apa laki-laki menyebalkan ini bertanya?

Perjalanan pulang jadi terasa ramai di kepala karena Jeanna diam-diam mulai menghajar Parama dan Bumi habis-habisan di dalam imajinasinya.

... ...


Di dalam sekretariat yang sempit, anak-anak pers tengah sibuk mendiskusikan lokasi makrab (malam keakraban) yang dijadwalkan minggu depan. Kali ini, para pengurus organisasi ingin mendengar pendapat-pendapat para anak baru.

"Puncak!"
"Tapi, bukankah pantai terdengar lebih asyik?"

Karena saling berbeda pendapat, Cayapata mengusulkan untuk melakukan pemungutan suara. Agar tak menimbulkan pepecahan, anak-anak dianjurkan untuk menutup mata sembari memilih.

Hasilnya, puncak mendapat suara lebih banyak dari pantai dan Jeanna merupakan salah satu dari sebagian besar yang mengangkat tangan untuk itu. Alasannya sederhana, ia tak suka membangun tenda ditengah terpaan angin laut yang super kencang. Lebih baik menyewa villa di puncak dan tidur tanpa perlu memikirkan bagaimana caranya mendirikan tenda.

"Baiklah. Lokasi malam keakraban anak-anak pers tahun ini adalah puncak! Tempat menginap akan dikabarkan nanti."

Usai rapat, Jeanna lekas melipir meninggalkan sekretariat. Ia yang paling pertama keluar dan menghilang secepat kilat di balik tikungan. Siang tadi, Parama menghampirinya di kantin. Sengaja datang untuk mengingat nama diskotek tempat mereka minum-minum nantinya.

"Dragonfly diskotek," katanya, tak lupa menyodorkan kartu keanggotaan berwarna emas yang menunjukkan bahwa Parama adalah tamu naratama. "Perlihatkan ini dan mereka akan membawamu kepadaku," sambungnya.

Jeanna sedikit terlambat karena pergi menggunakan angkutan umum. Saat tiba, langit benar-benar sudah berwarna jingga pekat. Ia menarik napasnya panjang, kemudian menghembuskannya dengan bantuan mulut.

"Tenang, Jeanna. Ini bukan pertama kalinya kau pergi ke diskotek," ujarnya pada diri sendiri.

Di depan pintu masuk, berdiri dua orang lelaki berbadan kekar berwajah menyeramkan. Mereka mencegat Jeanna, bertanya ketus tujuannya datang ke mari. Tanpa basa-basi, ia lekas menunjukkan kartu naratama yang Parama berikan.

Nada bicara dua orang seram itu mendadak berubah dan lekas menuntun Jeanna menuju ruang khusus tempat Parama menunggu.

Di dalam ruangan, Parama tidak sendirian. Ada tiga perempuan berpakaian minim duduk berhimpitan dengannya. Keempatnya saling melepas tawa dan minum alkohol seakan itu adalah air mineral.

"Oh, tamuku sudah datang!"

Ketiga perempuan itu nampaknya mengerti. Selepas melihat kedatangan Jeanna, mereka lantas meninggalkan ruangan, tak lupa memberi kecupan tangan sebelum menghilang dari balik pintu. Sementara Jeanna terpaksa menahan mualnya saat melihat adegan menjijikan tadi.

"Kemari, sayang!" Parama menepuk-nepuk bantalan sofa di sebelahnya, menginginkan Jeanna duduk di sampingnya dengan segera.

Mau tak mau Jeanna duduk tepat di sampingnya dan Parama tersenyum puas. Tangan lelaki itu lekas menarik botol bir dan hendak menuangkannya ke dalam gelas kosong milik si gadis.

"Setidaknya jamu aku dengan Bourbon, bukan bir murahan," celetuknya setelah berhasil menarik jauh gelasnya.

Parama tersenyum lebar. "Wow. Sepertinya aku salah menilaimu. Seberapa sering kau ke tempat seperti ini?" tanyanya dengan telunjuknya yang telah menempel pada tombol merah di bawah meja—bel untuk memanggil pelayan.

"Jika aku sedang stres, hmm satu bulan empat kali?"

Parama bertepuk tangan dengan keras. Senyumnya kini berganti menjadi tawa. Tepat setelah itu, seorang pelayan masuk dengan kepala tertunduk.

"Berikan aku tiga botol Evan Williams—"

"Lima botol!" potong Jeanna dan Parama semakin terpukau dibuatnya.

"Lima botol Evan Williams juga daging dan keju berlemak." Parama memperjelas. Setelah menerima pesanan, pelayan tersebut bergegas pergi.

Seraya memangku dagungnya dengan sebelah tangan, terang-terangan ia menatap Jeanna yang nampak santai.

"Kenapa tiba-tiba kau ingin minum denganku?"

Jeanna mendelikkan bahu. "Hanya ingin minum saja. Jika kau keberatan, aku bisa pergi—"

"Tidak, tidak." Laki-laki itu mengayun-ayunkan tangannya. "Apa kekasihmu tidak akan marah? Kudengar, kau berpacaran dengan Bumi. Aish, anak sialan itu ...."

"Kau baru saja mengumpatnya."

"Aku tahu. Lalu kenapa? Apa kau keberatan aku menyumpahinya?"

"Yah ... tidak juga. Hanya saja kau harus tahu batasan. Pulang ini aku bisa saja mengadukanmu padanya. Bagaimanapun, aku kekasihnya."

Parama terkikik seperti orang gila. "Baiklah, baiklah ... aku tidak akan memakinya lagi."

Jeanna menatap tajam Parama yang menghabiskan sisa bir di dalam botol. Meminumnya tanpa jeda, seakan tengah meneguk jus apel manis. Jeanna bertekad, ia harus mengorek banyak informasi dan menemukan bukti bila Parama adalah pelaku sebenarnya.

...

Oh ya, yang mau kasih dukungan biar aku makin semangat menulis, bisa kunjungi link ini:

https://saweria.co/vgirlsworld

Terima kasih.

KEMBALI HIJAU: Bumi DhanurendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang