Chapter 36 (I)

100 18 20
                                    

"Seminar"
... ...


Bumi dan Jeanna melangkah berdampingan, membelah malam yang sunyi dengan dibaluti kecanggungan. Lampu jalan bercahaya kuning redup bak lampu sorot panggung-panggung teater menyinari dua anak manusia di bawahnya, mereka yang sama sekali tidak bercakap walau sudah setengah jalan.

Nyanyian binatang malam yang sumbang tidak membuat Jeanna merinding. Di dalam dirinya, ketakutan terhadap makhluk halus tak lebih dari satu persen. Menurutnya, manusia lebih menyeramkan daripada setan, dan semua itu terbukti dari banyaknya aksi kejahatan di dunia.

Diam-diam ia melirik Bumi yang berjalan tanpa suara di sisi kanannya. Mulut si lelaki yang terkatup rapat itu bergerak-gerak, mengunyah sesuatu yang tak lain adalah permen karet. Aroma tajam dan pedas seketika menusuk hidung sensitif Jeanna kala Bumi sengaja bernapas melalui mulut.

"Apa?"

Buru-buru Jeanna mengalihkan pandangannya dari Bumi. "Apanya yang apa?" tanyanya, sedikit terbata, bagai kecoa yang tertangkap basah oleh psikopat penakut.

"Aku tahu kau terus melihatku dari tadi. Apa ada yang ingin kau bicarakan? Oh, tapi bagaimana, ya, aku sedang tak berselera meladenimu."

Bumi meniup balon permen karet dengan santai dan memecahkannya begitu saja. Suara letusannya hampir tidak terdengar di telinga. Jika Jeanna memiliki penciuman yang sensitif, maka Bumi mempunyai penglihatan dua kali lebih tajam dari teman sebaya.

"Cih, siapa juga yang ingin bicara denganmu? Narsistik sekali. Kau bukan Nicholas Saputra yang menarik perhatian kaum hawa."

"Ya, ya. Tapi kau tertangkap basah olehku."

Jeanna melipat tangannya di bawah dada, lalu membuang muka sembari berdecak kesal. Baiklah, ini kesalahannya. Mestinya, ia tak mencuri pandang lelaki narsis di sebelahnya. Sebenarnya, Jeanna agak bosan dan butuh teman bicara selama perjalanan pulang.

"Apa kau tidak bosan? Di sebelahmu ada orang, seharusnya kau ajak dia bicara." Deklarasi kekalahan, karena itu Jeanna memberanikan diri memutus tali kekikukan. Ia bertanya tanpa menoleh, takut tertangkap basah dan diolok lagi.

"Aku tidak suka banyak bicara, buang-buang tenaga," ucapnya. Terdengar konyol meski ada sebagian orang yang berkepribadian layaknya Bumi. Jeanna tidak termasuk, dia ekstrover sejati.

"Kurasa, lebih lelah mengunyah permen karet daripada berbicara," sarkas Jeanna diselingi tawa kecil. Bumi, laki-laki itu tidak tersinggung karena setiap kepala punya pendapatnya masing-masing. Jika Jeanna menganggapnya begitu, maka ia sebaliknya—bicara lebih melelahkan daripada mengunyah permen karet.

"Kalau begitu," Bumi membuang permen karetnya ke tempat sampah, "ceritakan padaku mengapa kau bisa pergi minum dengan Parama."

Jeanna menghela napas panjang. "Tidak ada alasan khusus. Aku hanya ingin minum-minum saja dan kebetulan aku diundang olehnya." Jeanna mendelikkan bahunya. Jelas itu bukanlah alasan yang sebenarnya.

"Kalau begitu, sudahi saja hubungan palsu ini. Buktinya, kau tidak lagi takut dengannya, kan? Ini juga ... sebenarnya tidak menguntungkanku."

Hari-hari Bumi menjadi sedikit sulit karena hubungan sandiwaranya dengan Jeanna. Beberapa senior dan teman seangkatan selalu saja menyelipkan nama kekasih 'palsu'-nya ini dalam percakapan. Sebagian junior bahkan diam-diam membicarakannya.

Pada akhirnya, Jeanna memutuskan untuk sedikit jujur. "Aku menerima ajakannya karena ingin mengorek informasi. Kau tahu, sejak awal aku tidak pernah setuju dengan penyebab kematian Nimas."

"Kau mencurigainya?"

"Sangat."

"Jika begitu, berhentilah sampai di sini. Jangan main-main dengan air yang tenang."

Sayangnya, Jeanna tidak bisa berhenti. Andai ia mengakhirinya, Ophelia di masa depan akan mati mengenaskan. Seandainya rasa kemanusiaan ini tak ada, Jeanna juga tak ingin repot-repot memosisikan dirinya ke dalam bahaya.

Sejak kematian Ophelia yang misterius, kedatangannya ke sini bukan lagi hanya sekedar mencari lelaki yang selalu hadir di mimpinya. Banyak benang yang harus ia uraikan agar semuanya kembali ke jalan yang semestinya.

"Sekalipun kau sudah tahu kisahku, aku tetap tidak akan berhenti."




... ...


Sesuai janjinya, Bumi mendaftarkan diri untuk mengikuti seminar bertajuk Broadcast Session yang akan diisi oleh Gendhis Kartika, news anchor yang memiliki nama besar sekelas selebritas tanah air.

"Kuotanya benar hanya seratus lima puluh?" Bumi melirik fotokopi KTM yang dijepit di depan lembar formulir pendaftarannya.

Panitia seminar itu mengangguk. "Sengaja dibatasi biar terkesan eksklusif. Kau tahu sendiri siapa yang datang, kan?"

"Lalu, bagaimana cara kalian memilih peserta? Dilihat dari foto KTM mereka? Yang rupawan terpilih, sementara yang biasa-biasa saja dibuang?"

Terlihat wajah si panitia yang menegang. Saking gugupnya—karena tertangkap basah—bulir keringat tiba-tiba timbul di pelipisnya.

"Ti-tidak. Siapa yang berkata begitu? Kami memiliki tim yang menyeleksi peserta. Yang terpilih artinya mereka memiliki minat dalam hal jurnalistik."

Bumi menangguk meski sebetulnya ia tahu bila laki-laki tambun berkacamata di depannya ini tengah berbohong.

"Apa ada seorang gadis bernama Jeanna yang mendaftar?"

"Siapa?"

"Jeanna."

Panitia itu diam sejenak, lalu mendelikkan bahunya. "Entahlah. Kurasa tidak ada,"jawabnya. "Tapi tidak tahu juga, sekarang saja sudah lebih dari seribu yang mendaftar."




...

Oh ya, yang mau kasih dukungan biar aku makin semangat menulis, bisa kunjungi link ini:

https://saweria.co/vgirlsworld

Terima kasih.

KEMBALI HIJAU: Bumi DhanurendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang