"Serangan"
... ...Bumi mengalihkan pandangannya dari Jeanna yang kebetulan baru saja menghilang dari balik pintu sekretariat tatkala Hestama dengan sengaja menyinggung lengannya.
"Bum!" bisiknya, namun penuh semangat. Gelora tergambar jelas di kedua bola mata Hestama. "Ayo ikut kami pergi karaoke!"
"Aku sibuk, Tam. Pergi saja tanpa aku."
Bumi selalu menolak ajakan kumpul-kumpul, baik kelompok himpunan maupun organisasi. Alasannya selalu sama; sibuk. Bahkan, selebritas papan atas sampai presiden sekalipun memiliki waktu luang untuk berkumpul bersama teman-teman.
Hestama mendekatkan diri dan dengan gesit merangkul bahu Bumi. "Ayolah, Bum. Kali ini saja, please ...." Suara Hestama terdengar putus asa. "Jika kau pergi, Harum pasti akan ikut juga. Kau tahu sendiri, Harum juga sama sepertimu, jarang berkumpul."
"Memangnya kami anak kembar? Mengapa aku yang menjadi patokan keputusan Harum? Jika dia tidak mau pergi, berarti ia hanya malas kumpul-kumpul."
Namun, Hestama sama sekali tidak menyerah. Sebagai gantinya, ia bersedia mengerjakan tugas kuliah Bumi (khusus mata kuliah yang diampu Pak Sugeng— dosen pemarah) selama satu bulan penuh.
"Memangnya pergi karaoke di mana? Jika jauh, aku enggan."
Seketika Hestama tersenyum cerah. "Ah, tidak jauh-jauh amat, Bum. Kau tahu, kan, kawasan hiburan malam itu ...." ungkapnya.
... ...
Tuk
Jeanna meletakkan gelas kosongnya di atas meja yang penuh serakan remah-remah makanan. Wajah dan telinganya memerah, dan hebatnya ia masih sadar. Tak seperti lawan bicaranya yang telah tepar, tak sadarkan diri begitu menghabiskan botol ke tiga.
Sialnya, ia tak mendapatkan pengakuan. Laki-laki itu justru menceritakan betapa muaknya ia dengan Guntur. Parama merasa seperti budak rendahan tiap kali bergaul dengan si anak rektor. Jelas itu bukan kisah yang ingin Jeanna dengar.
Disaat Jeanna mencoba menjebak Parama dengan menyinggung-nyinggung Nimas, lelaki itu justru memberi jawaban yang tak nyambung, membuat Jeanna kesal bukan kepalang. Hampir saja ia memukul kepala Parama dengan botol whiski.
"Ah, sial sekali. Jika tahu seperti ini, lebih baik kutendang saja kemaluannya hari itu." Jeanna mengacak-acak surainya, kemudian meraih tas serutnya dan pergi meninggalkan ruang naratama yang busuk.
Tentu ia berjalan sempoyongan dan turut mengeluarkan suara cegukan. Sebelum keluar diskotek, ia menyempatkan diri untuk melihat orang-orang mabuk menari dengan gila di lantai dansa. Selain menghibur diri dari kepenatan, Jeanna dan Calvin juga kerap berburu skandal di tempat ini.
Jeanna yang keluar dari diskotek sembari menutup wajah hampir saja menabrak tiang listrik andai ia tak gesit menghindar. Berkali-kali ia menggelengkan kepala guna memulihkan sedikit kesadaran, tapi sepertinya efek alkohol mulai menguasai diri.
Ia melambai-lambaikan tangannya, mencoba memberhentikan taksi-taksi yang lewat. Namun anehnya, tidak ada satupun taksi yang berhenti. Apa mereka tak ingin uang?
Pada akhirnya, Jeanna menyerah. Ia berjongkok di sebelah tiang lampu, menghitung banyaknya orang dan kendaraan yang berlalu-lalang.
"Sebelas ... dua belas ... tiga— oh!"
Jeanna lekas berdiri dengan terhuyung-huyung. Dari tempat karaoke di seberang jalan, ia melihat Bumi yang baru saja keluar. Tangannya sontak melambai riang dan turut memanggil-manggil Bumi sampai lelaki itu menyadari keberadaannya.
Melihat sosok Jeanna yang mulai menggila di seberang sana tentu membuat Bumi datang. Langkahnya lebar-lebar, sehingga tak butuh waktu lama baginya untuk sampai di titik seberang. Aroma alkohol yang manis menusuk penciuman Bumi detik itu juga.
"Kau mabuk?"
Jeanna menganggukkan kepalanya penuh semangat. "Aku menghabiskan lima botol whiski, haha," ungkapnya dengan tangan yang menunjukkan angka lima.
"Kau mau minum juga? Aku masih sanggup untuk ronde kedua!" Jeanna menarik tangan Bumi, berniat mengajaknya ke bar. Akan tetapi, laki-laki itu tak bergeming meskipun telah ditarik-tarik.
"Aku akan mengantarmu pulang." Kali ini, giliran Bumi yang balik mencengkram pergelangan tangan Jeanna.
"Ah, tidak mau! Aku masih mau minum. Jika tak mau pergi bersama, aku bisa jalan sendiri."
Sayangnya, aksi tarik-tarikan itu tak berlangsung lama karena pada akhirnya Jeanna kalah tenaga juga dari Bumi. Laki-laki itu menyeretnya masuk ke dalam jeep— mobil penculik di dalam sinetron—hitam yang terparkir tak jauh dari gedung karaoke.
Aku bawa mobilnya. Besok pagi langsung kukembalikan ke tempat rental.
Hestama sengaja merental mobil jeep agar bisa pergi bersama-sama dengan Harum. Tetapi, pada akhirnya lelaki itu harus mengubur kegembiraannya saat mendapat pesan singkat dari Bumi.
Jancok, kau! Aku sudah ada niatan untuk mengantar Harum pulang!
Pesan dari Hestama hanya berakhir di kotak masuk tanpa sempat Bumi baca.
... ...
"Kau minum dengan siapa?" tanya Bumi saat dirasa Jeanna masih sedikit tersadar meski matanya terpejam.
"Parama ...."
"Apa?"Jeanna berdecak. "Apanya yang apa? Kan sudah kubilang, aku minum dengan Parama—"
Bumi mengerem mendadak karena lampu lalu lintas tiba-tiba berubah merah, dan Jeanna hampir saja terpelanting andai sabuk pengaman tak melindunginya.
"Ah ... kau bisa menyetir tidak sih? Aku jadi ingin hueek muntah hueek—" Beruntungnya gadis itu tidak benar-benar muntah. Akan jadi pr untuk Bumi andai itu terjadi.
"Hanya minum?"
"He-em. Laki-laki itu benar-benar payah. Tiga botol whiski langsung membuatnya pingsan."
"Dan kau sungguh hebat. Minum lima botol tapi masih bisa menjawab pertanyaanku." Bumi menggeleng-gelengkan kepalanya. Disisi lain ia merasa lega setelah tahu bila dua orang itu hanya minum, tidak lebih.
"Hei, bisakah kau tidak membawaku pulang? Oh, ada motel! Bawa aku ke sana saja," tunjuknya.
"Mo-motel?"
Jeanna mengangguk. "Aku tidak bisa menunjukkan sisiku yang seperti ini kepada nenek Mar. Malam ini aku mau tidur di motel saja."
Bumi yang hampir saja salah paham langsung menyahut. "Memangnya kau punya uang?"
"Tidak," katanya dengan kepala bergoyang. "Kau yang bayar, kan kau yang membawaku ke sana."
Tetapi, pada akhirnya Bumi membawa Jeanna pulang ke kediaman nenek Mar. Toko kelontong kastanye terlihat hampir tutup. Sementara Jeanna yang duduk di kursi penumpang sudah hampir kehilangan semua kesadarannya.
Sambil mengomel pelan, tangan Bumi dengan cekatan melepas sabuk pengaman yang melindungi tubuh Jeanna. Lekas ia menepuk-nepuk pipi si gadis, mencoba menyadarkannya.
Ketika mata Jeanna perlahan-lahan terbuka, Bumi akhirnya bisa bernapas lega. Setidaknya ia tak perlu repot-repot menggendong gadis menjengkelkan ini sampai ke dalam rumah.
Baru saja Bumi hendak mengusir si gadis dari mobil pinjaman, mendadak dirinya menerima serangan. Jeanna mengecup bibirnya tanpa aba-aba, serbuan yang membuat kedua matanya melebar.
"Perempuan ini ... benar-benar gila rupanya," gumamnya setelah sempat terdiam selama beberapa detik usai kecupan itu berakhir.
...
Oh ya, yang mau kasih dukungan biar aku makin semangat menulis, bisa kunjungi link ini:
https://saweria.co/vgirlsworld
Terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI HIJAU: Bumi Dhanurendra
ChickLitDI akhir 20-an, Jeanna Hope masih juga melajang. Merasa putus asa sekaligus bertekad memuaskan 'ledakan penasaran', dirinya pun memutuskan untuk membeli minuman populer itu, KEMBALI HIJAU. Saat itu, tujuannya hanya satu; mencari jodoh yang tak kunju...