Chapter 20

106 16 19
                                    

"KEHIDUPAN KAMPUS YANG TIDAK TENANG"
... ...

Jeanna melenggang masuk ke dalam Toko Kelontong Kastanye. Telapak tangan kirinya masih setia menghalau kombinasi aneh yang tercipta dari kening memarnya dan poni Dora—karya tangan terkutuk Bumi.

"Oh, sudah pulang, ya? Dahimu kenapa?

Nenek Mar yang tengah berjongkok, menyusun sabun-sabun mandi berdasarkan merk, bertanya tanpa jeda saat melihat Jeanna yang tak kunjung menurunkan tangan. Dengan sabar ia menunggu teman serumahnya berbagi jawaban.

Setelah bungkam sesaat, dengan berat hati Jeanna menurunkan telapak tangan. Memar warna biru-keunguan nampak kontras dengan kulit putihnya. Nenek Mar terkejut, lantas berdiri dari jongkoknya dan mendatangi si gadis. Perempuan paruh baya itu sama sekali tak tertarik dengan poni pendek Jeanna.

"Apa yang terjadi? Kenapa bisa sampai begini?"

Ada kepanikan di setiap katanya yang entah kenapa menimbulkan rasa bersalah di relung hati Jeanna. Karena itu, alih-alih mengatakan yang sebenarnya, ia justru merapalkan kebohongan, seolah Nenek Mar adalah tempat penampungan segala dustanya.

"Karena buru-buru, aku jadi tersandung dan terantuk beton."
"Duh Gusti ... lain kali hati-hati. Duduk dulu, biar kuambilkan air hangat."

Kali ini Jeanna tidak membantah, tenaganya sudah tergerus duluan karena memikirkan poninya di sepanjang jalan pulang.

Merasa kehausan, ia pun lekas mengambil sebotol air mineral KEMBALI HIJAU. Nenek Mar pernah berkata, bila Jeanna boleh meminum KEMBALI HIJAU sebanyak yang ia mau. Toh, tidak ada yang membelinya juga. Akan lebih baik jika segera dihabisi.

Tak ada deretan angka di belakang tutup botol. Jeanna jadi berpikir, apa jangan-jangan nomor ajaib itu tersebar secara acak? Lalu, berapa banyak KEMBALI HIJAU yang harus ia minum agar bisa kembali?

"Ini sih harus diolesi obat," gumam Nenek Mar, beberapa saat setelah memeras handuk hangat dan menepuk-nepuk pelan luka memar Jeanna.

Bola mata si gadis terus mengekor kemapun langkah si nenek. Diamatinya tangan keriput yang tengah membuka kaleng obat bertuliskan Zam-Buk. Kemudian, tak berapa lama, obat tersebut telah menyatu dengan lukanya.

"Lalu, rambutmu kenapa?"
"Nenek tahu?"
"Siapapun bisa melihatnya, haha."

Nenek Mar tertawa terbahak-bahak, sementara wajah Jeanna mulai tertekuk masam, cemberut.

"Ini ulahnya Bumi."
"Bumi?"
"Nenek pasti tidak percaya, kan? Tapi benar, memang Bumi penyebabnya."

Jeanna lalu menjelaskan tragedi yang menimpanya di sekretariat pers. Mulai dari inisiatifnya untuk menutup memar sampai Bumi yang memangkas poninya terlalu banyak. Tak lupa juga menambahkan sedikit bumbu agar Bumi tergambar seperti penjahat sungguhan.

"Tapi Bumi membuatmu jadi semakin cantik."
"Ya?"

Nenek Mar menarik segaris senyum. "Jika memarmu sudah sembuh, kau akan semakin cantik. Bumi tahu itu," ungkapnya. Haah, bisa-bisanya perkataan Nenek Mar membuatnya tersipu begini.

"Cantik? Dengan poni sependek ini?" Jeanna tetap menyangkal sampai akhir. Bumi bukannya tahu, tapi memang sengaja ingin mempermalukannya.

"Karena perempuan cantik cocok dengan gaya apapun. Tapi benar, loh. Bumi ternyata bisa juga, ya."

Nenek Mar tertawa ringan, kemudian pergi membereskan sesuatu yang belum usai di belakang. Jeanna lantas beranjak dari duduknya dan bertengger di depan cermin kecil dekat kulkas, mengamati pantulan dirinya seraya memikirkan kembali ucapan Nenek Mar tadi.

KEMBALI HIJAU: Bumi DhanurendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang