Chapter 34

100 17 31
                                    

"Sebab-Akibat"

... ...


Suara ayam berkokok membangunkan Jeanna dari tidurnya. Tak seperti biasa, kepalanya terasa nyeri yang lantas membuatnya enggan beringsut dari tempat tidur. Akan tetapi, hari ini bukan weekend dan mau tak mau dirinya mesti beranjak.

"Ah, baunya ...." Jeanna menjepit hidung rapat-rapat guna memblokir aroma alkohol yang semena-mena menguar dari tubuhnya. Kemudian, ketika tangannya hendak menekan kenop pintu, rasa tak enak mulai menggerayangi hatinya.

Apa yang akan nenek Mar katakan? Apakah ia akan diusir dari sini? Kekhawatiran itu melintas bukan tanpa sebab. Sebetulnya, Jeanna takut mengecewakan perempuan baik yang bersedia menampungnya. Di Indonesia, pengonsumsi alkohol sering disebut sebagai 'orang nakal' dan wajib dihindari.

CKLAK

Jeanna mencium aroma sedap dari arah dapur. Diam-diam, hidungnya mulai mengendus bak anjing dan melangkah perlahan mengikuti sumber bebauan. Di dapur, terlihat sosok nenek Mar yang baru saja mematikan kompor gas. Asap mengepul dari dalam panci.

"Oh, sudah bangun? Duduklah. Aku sengaja memasak sup ayam untuk meredakan pengarmu." Nenek Mar mengambil mangkuk bergambar ayam jago dan mengisinya dengan sup ayam buatannya. "Makanlah. Akan kubuatkan teh madu juga untukmu," lanjutnya.

Jeanna menundukkan kepala, memandangi mangkuk sup yang hangat. "Apa nenek tidak marah?" tanyanya hati-hati. Jika itu ayahnya, Jeanna pasti akan diomeli. Karena itu, alih-alih pulang, ia lebih memilih bermalam di hotel. Selain menghindari omelan, ia juga tak ingin membuat ayahnya kecewa.

Pernah satu kali Jeanna berpikir untuk tak lagi menyentuh alkohol. Tetapi esoknya, seusai diomeli atasan, kebiasaan itu kembali lagi.

"Kau pasti punya alasan kenapa melakukannya." Nenek Mar meletakkan gelas berisi teh madu persis di sebelah mangkuk yang belum tersentuh. "Tapi, kusarankan untuk berhenti mengonsumsinya. Pelan-pelan saja, karena tubuh kita juga butuh adaptasi dari yang namanya perubahan. Akupun dulu sama sepertimu, seorang peminum. Kuputuskan untuk berhenti karena ingin berumur panjang," ungkapnya.

Jeanna menarik senyum simpul, nafsu makannya tiba-tiba meningkat. Disaat daging ayam hendak masuk ke mulutnya, tiba-tiba kejadian semalam terlintas di pikirannya. Sontak ia berteriak singkat dan menjatuhkan sendok ke atas meja.

"Ada apa?" Nenek Mar terlihat panik sementara Jeanna tetap mematung. Hal-hal yang terjadi semalam berputar seperti pita film, berulang-ulang dan tak kunjung habis. Yang membuatnya histeris bukan aksi minum-minumnya di diskotek yang sudah seperti orang gila, tetapi perbuatan kurang ajarnya terhadap Bumi. Maksudnya ... kecupan itu.

"Ti-tidak mungkin." Jeanna memijat-mijat kepalanya, berupaya meyakinkan diri bila reka adegan yang diingatnya tak lebih dari sekedar manipulasi otak. "Jeanna, kau benar-benar gila," bisiknya pada diri sendiri.



... ...


Kacamata hitam bergagang merah muda kembali ia kenakan bersama dengan topi baseball dan masker sebagai tambahan. Penampilannya yang sudah seperti teroris cukup menarik perhatian orang-orang lewat. Mereka tertawa dan bergunjing langsung di depan wajah Jeanna.

Sebenarnya, tidak ada alasan ia harus datang ke kampus hari ini. Perlu diingat, dirinya bukanlah mahasiswa yang namanya tercantum resmi di buku absensi. Tetapi, entah kenapa kakinya selalu ingin melangkah ke mari. Yah, selama ia tak bertemu dengan Bumi, hari ini akan berjalan normal untuknya.

Kali ini ia melalangbuana sampai ke fakultas ilmu sosial dan ilmu politik (FISIP) demi tak berpapasan dengan laki-laki yang ia cium. Tak seperti biasa, mading yang membosankan nampak dikerumuni banyak mahasiswa.

"Kuotanya terbatas, hanya seratus lima puluh orang."

"Gila! Aku juga ingin menghadiri seminarnya, tapi saingannya satu kampus!"

"Ah, aku sangat ingin bertemu dengan news anchor itu, Mbak Gendhis."

Jeanna berlari menuju mading, menyelip bak cacing hingga berhasil menguasai posisi terdepan. Dengan jelas ia dapat melihat selebaran yang mengumumkan bila Gendhis Kartika akan menjadi pembicara sebuah seminar.

"Mama ...."

Jeanna ingin bertemu dengan ibunya, sekali saja. Seiring bertambahnya usia, ia perlahan mulai melupakan wajah sang ibu. Foto pernikahan orang tuanya bahkan tak membantu banyak. Semakin diingat, wajah ibunya semakin mengabur.

Dibacanya dengan teliti persyaratan pendaftaran seminar. Tidak banyak, hanya tertera satu permintaan yaitu, kartu mahasiswa, dan Jeanna ... tidak punya.

"Apa yang harus kulakukan?" katanya sembari menggigiti kuku jari. Ia ingin sekali datang dan melihat ibunya pun kesempatan bertemu ini pasti tidak akan terjadi dua kali.

Disaat itulah ia teringat dengan Bumi. Ia bisa saja membujuk laki-laki itu untuk mendaftar seminar—selebihnya tergantung kemujuran—dan bila lolos, Jeanna lah yang akan hadir menggantikannya. Tapi, dirinya tak punya keberanian untuk bertemu dengan Bumi. Laki-laki itu juga pasti akan menghindari perempuan gila yang tiba-tiba saja menciumnya.

"Aku harus bagaimana? Oh, astaga ... kenapa juga aku menciumnya? Dasar Jeanna bodoh!" rutuknya seraya menampar-nampar permukaan masker yang menutupi separuh wajahnya.


... ...


Matahari sudah tak lagi terik, namun Jeanna masih belum memiliki keberanian untuk bertemu dengan Bumi. Seharian ini yang ia lakukan hanyalah menguntit si lelaki. Ternyata kegiatannya benar-benar padat, membuatnya hampir saja menyerah.

Sampai langit berubah gelap, Bumi masih belum keluar dari dalam ruang BEM. Nampaknya, sulit untuk mengakhiri rapat yang tak jua menemukan titik penyelesaian. Orang-orang terus berpendapat, saling sahut-sahutan dengan keras.

Tak sanggup lagi berdiri, Jeanna memilih untuk duduk di salah satu bangku dekat sekretariat BEM. Banyak orang-orang yang datang dan pergi bergantian, tapi Bumi bukan salah satu dari mereka.

Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam dan pantatnya mulai terasa kaku. Berkali-kali Jeanna berniat pulang, tetapi tak bisa saat teringat akan seminar ibunya. Lagi pula ini salahnya, kenapa tak sedari awal ia berbicara dengan Bumi alih-alih menjadi penguntit.

Sesekali ia menguap. Matanya yang berat juga terpaksa ia bulatkan agar tak terpejam. Seluruh peralatan yang membuatnya terlihat seperti teroris ia lepaskan segera (topi, kacamata, masker). Keringat yang menempel di wajah ia seka dengan lengan baju sesekali.

"Tidak bisa. Sepertinya ini tidak akan berakhir." Jeanna memutuskan untuk menyerah dan jatuh tertidur begitu saja, berharap Bumi akan segera datang.






...

Oh ya, yang mau kasih dukungan biar aku makin semangat menulis, bisa kunjungi link ini:

https://saweria.co/vgirlsworld

Terima kasih.

KEMBALI HIJAU: Bumi DhanurendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang