Chapter 19

97 18 32
                                    

"PONI"
... ...

Ini kali pertama bagi Galuh Kawiswara, merasa tertarik dan ingin mengenal lawan jenis lebih dekat lagi. Berdasarkan teori Marxis, ia termasuk bagian kaum proletar (masyarakat kelas bawah) yang harus bekerja jauh lebih keras demi kehidupan lebih baik. Tidak mudah bagi Galuh untuk bisa sampai di tahap ini—menjadi mahasiswa Universitas Garuda. Dirinya jelas tak ingin menghancurkan masa depan yang susah payah dibangun hanya karena 'wanita'.

Keduanya bertemu secara kebetulan. Dapat dikatakan kasus pelecehan seksual 'Guntur Pamungkas'-lah yang menjadi penghubung. Saat itu, tidak ada sesuatu yang spesial. Galuh hanya melihat sosok Anggraeni di dalam diri Jeanna yang kala itu tengah membela korban. Namun, semuanya jadi berbeda setelah ia menyaksikan insiden di kantin beberapa saat lalu.

Wanita itu seperti Hua Mulan, pejuang legendaris yang menjadi panutan heroik bagi para pahlawan-pahlawan bangsa Han. Sedikit berlebihan, tapi seperti itulah Jeanna dalam gambaran Galuh.

"Kalau begitu, bagaimana jika kita mampir ke sekretariat pers?"
"Ya?"

Galuh mengulum senyumnya, binar 'keterkejutan' pada kedua mata Jeanna yang melebar cukup menggelitik hati.

"Keningmu—"

Jemari yang hendak merapat tiba-tiba lari menjauh kala ujungnya hampir menyentuh kening kemerahan milik si gadis. Di bawah meja, Galuh mengepalkan telapak tangan dan tersenyum tipis.

"Harus dikompres dengan air hangat," sambungnya. Terlihat jelas kebingungan pada raut wajah si gadis. Akan tetapi, satu detik kemudian rasa bimbang itu lenyap, tergantikan oleh api semangat yang membara. Jeanna menerima ajakannya dengan senang hati.

"Akan kukembalikan buku-buku ini dulu." Jeanna buru-buru beranjak hingga tak sengaja membuat kursi berderit nyaring. Semua mata kini tertuju padanya, bahkan petugas perpustakaan pun ikut memelototinya.

... ...

Handuk kecil yang tak lagi hangat tergeletak sembarangan di atas meja panjang, tempat anak-anak pers rapat. Jeanna berdiri di hadapan cermin kecil yang tergantung dekat meja komputer, menatap nanar kening yang mulai membiru.

"Wah, jika tahu kepalanya sekeras batu, aku tidak akan sudi melakukannya," desis Jeanna selagi memikirkan cara agar jidat memarnya tidak lagi terekspos. Tiba-tiba, ia mendapat ide cemerlang. Bagaimana jika poni panjangnya dipangkas sebatas alis? Selain membuatnya terlihat lebih muda, memarnya juga akan tertutupi.

Detik itu juga matanya mulai berburu gunting. Tak mungkin ruangan sekelas sekretariat tidak mempunyai alat pemotong. Mulutnya melengkung membentuk senyuman kala benda yang dicari berhasil ia temukan.

"Hanya sebatas alis, sebatas alis ...." Mulut Jeanna komat-kamit, mengucapkan hal yang sama bak tengah merapalkan mantra. Ya, semua ini dilakukannya agar tak terlihat memalukan di mata Galuh.

Sraak
Sraak

Suara rambut yang tergunting terdengar amat renyah, seperti suara keripik kentang yang tengah dikunyah-kunyah. Jeanna mengguntingnya dengan hati-hati. Bagaimanapun juga, ini perdana ia menggunting poni sendiri, biasanya selalu pergi ke salon langganan.

Cklak

Pintu sekretariat terbuka. Jeanna terperanjat hingga tak sengaja menyebabkan poninya terpangkas curam—tidak simetris. Ia lekas menengok, menatap sinis ke arah pintu. Siapa yang berani-beraninya masuk disaat krusial macam ini?

Jeanna mendengus, bola matanya berputar jenuh. Laki-laki ini lagi, Bumi, yang kerap muncul pada saat-saat 'genting'-nya Jeanna. Dan juga ... lagi-lagi dirinya terkena sial.

"Kau ...," Jeanna berjalan mendekat ke arah Bumi yang baru saja menutup pintu. "Tanggung jawab," sambungnya, menyodorkan gunting tajam kepada Bumi yang masih belum mengerti.

Bola mata lelaki itu turun-naik mengamati Jeanna dengan penuh kebingungan. Datang-datang minta tanggung jawab, memangnya apa yang telah ia lakukan?

Jeanna yang tanggap lekas menunjuk poninya yang panjang sebelah. "Karena kedatanganmu poniku jadi jelek seperti ini," rajuknya.

Bumi yang masih diam mulai sadar akan curamnya poni si gadis. Lantas melesak pergi dari hadapan Jeanna, meletakkan tasnya di atas meja panjang.

"Aku tidak mau tahu, kau harus tanggung jawab. Ah, poniku yang berharga."
"Omong kosong apa yang kau bicarakan?"

Kening Jeanna mengerut, wajah sedihnya berubah jadi masam. Ya, Jeanna selalu kembali ke setelan pabriknya saat berhadapan dengan Bumi.

"Rapikan poniku," kata Jeanna, mengulurkan gunting kepada Bumi yang menatapnya penuh ketidakpercayaan.

"Kau bisa melakukannya sendiri."
"Dan kemungkinan besar kau akan merusaknya lagi."

Bumi menelisik wajah Jeanna yang nampak merengut, kesal terhadapnya. Tiba-tiba saja ia teringat akan perkataan Hestama, bahwa bisa saja nasibnya akan sama dengan Parama sewaktu di kantin tadi.

Dirampasnya gunting dari tangan Jeanna, wajahnya dua kali lebih masam dari si gadis. Ia terpaksa merunduk seperti padi, mensejajarkan wajah agar tidak kesulitan dalam memangkas. Diperhatikannya mata Jeanna yang terkatup rapat hingga pipinya terangkat.

"Sebatas alis." Jeanna meletakkan telunjuknya di atas alis sebentar, kemudian membiarkan Bumi bekerja dalam diam. Lelaki itu bergerak tanpa banyak tanya. Suara renyah seperti mengunyah keripik pun kembali terdengar.

Aroma kayu cendana yang maskulin merebak, menusuk hidung Jeanna. Seluruh indra tiba-tiba menjadi sensitif saat penglihatannya tertutup rapat. Tanpa sadar, salivanya sampai terteguk beberapa kali dan jantungnya sedikit berdebar.

"Sudah."

Jeanna membuka matanya dan buru-buru melihat pantulan dirinya di dalam cermin. Ia mendadak tak bisa berkata-kata saat mengamati refleksinya. Wajahnya yang memerah cukup menjelaskan segalanya, bahwa Bumi tidak bisa dipercaya.

"APA YANG KAU LAKUKAN?"

Suara Jeanna terdengar melengking. Ia berusaha memanjangkan poninya kembali, tetapi apalah daya, perbuatannya sia-sia belaka. Bumi ... laki-laki menyebalkan itu membuat Jeanna terlihat seperti kembaran Dora— tidak, lebih parah dari Dora. Poninya kini terpangkas sampai setengah kening, bukan sebatas alis.

"Kau—"

Plak

Jeanna menempeleng kepala belakang Bumi dengan sekuat tenaga. Beraninya bocah awal 20-an ini mempermainkannya.

"Hei!"

Bumi sebenarnya hendak marah, tak terima bila kepalanya dipukul kuat seperti tadi. Tetapi, saat melihat penampilan Jeanna, yang keluar dari bibirnya justru suara cekikikan tertahan.

"Ada apa?"

Jeanna berhenti merengek saat mendengar suara Galuh dari arah pintu. Cepat-cepat ia menutup poninya dengan telapak tangan, menyembunyikan penampilan barunya yang mengerikan. Padahal ia berniat memotong poni agar terlihat cantik di mata Galuh. Tetapi ....

Jeanna melempar tatapan sinis kepada Bumi yang sama sekali tidak merasa bersalah. Lelaki ini justru membuatnya terlihat macam badut pasar malam!

"Oh, Bumi. Kapan kau tiba?" Galuh bertanya dengan nada ramah, melangkah masuk ke dalam sekretariat. Diperhatikannya Jeanna yang nampak menghindari tatapannya.

"Lima menit yang lalu."
"Mau mengerjakan apa yang Pak Braw minta?"
"Hmm."

"Aku pulang dulu." Jeanna meraih tas serutnya. Tangan kanannya masih menutup keningnya, lebih tepatnya poni Dora-nya.

"Apa memarnya sudah mendingan?"
"Ya, sedikit."

Jeanna melirik Bumi sinis. Rasa sakit hatinya belum sepenuhnya terbalaskan.

"Terima kasih. Aku pulang dulu."

Kebalikannya, Jeanna justru bersikap kelewat ramah terhadap Galuh. Tak bisa berhenti tersenyum bahkan sampai gadis itu meninggalkan sekretariat.

KEMBALI HIJAU: Bumi DhanurendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang