Chapter 18

94 15 23
                                    

"HEROIN"
... ...

Jeanna mengamati semangkuk indomie rasa soto di hadapannya. Kuning telur mata sapi di atas adonan mie nampak hampir meletus, sedangkan irisan cabai merah sibuk berenang kesana-kemari. Jika diingat-ingat, ia berhenti makan mie instan saat kedai ramen dan udon menginvansi Jakarta. Kala itu, rakyat kelas atas berbondong-bondong meninggalkan mie instan, termasuk dirinya. Beberapa hanya akan membeli jika perusahaan memproduksi varian baru, itupun sebagai bentuk 'coba-coba'.

Sebenarnya, dengan uang 3.000 yang dipunya, Jeanna bisa mendapatkan semangkuk bakso ayam atau satu bungkus 'nasi kucing' mengenyangkan. Ia juga tidak tahu mengapa tiba-tiba dirinya memilih mie instan sebagai menu makan siang. Padahal, kantin Universitas Garuda jauh lebih bersih daripada warteg di hari itu.

Ketika dicoba, rasanya hampir mirip dengan indomie buatan Mbok Atik, PRT yang sudah puluhan tahun bekerja di rumahnya. Meski sudah lama, Jeanna masih ingat rasa gurih dan pedas yang tercampur merata dari semangkuk mie instan rumahan.

"Hai, manis."

Ucapan Parama pagi tadi, bahwa mereka akan sering bertemu, sepertinya lebih cocok disebut ramalan. Laki-laki itu tanpa tahu malu duduk manis di sebelahnya, sementara dua temannya mengambil alih bangku kosong di depan, yang satu tersenyum lebar dan satunya lagi mengedipkan mata genit.

Parama melirik mangkuk ayam jago yang masih menyisakan banyak adonan mie. Ia dan kedua teman berengseknya saling bertukar pandang sejenak, kemudian mulai menyemburkan tawa yang terdengar seperti ejekan.

"Oh, jadi ini perempuan yang kau maksud."
"Ternyata lebih cantik jika dilihat langsung, hahaha."

Si hidung Pinokio dan si mulut Suneo—mancung maksudnya—bicara bergantian dengan mata yang tak berkesudahan mengamati paras Jeanna. Wanita itu merasa hidupnya sungguh sial, bisa-bisanya telisikan cecunguk ingusan ini menelanjanginya habis-habisan!

Setelahnya, tiga berandalan ini sibuk membicarakan Jeanna dan Harum, membanding-bandingkan keduanya seperti siapa yang lebih cantik dan body siapa yang lebih molek. Apa mereka sama sekali tidak punya sopan santun? Berani-beraninya membicarakan seseorang di hadapan orangnya langsung.

Jeanna yang terlanjur muak sudah tak memiliki selera untuk menghabiskan indomie soto-nya.

"Kita belum kenalan. Jadi, siapa nama gadis manis ini?"

Parama memangku wajah dengan telapak tangan, memusatkan perhatian penuh kepada gadis yang menarik perhatiannya pada pandangan pertama. Meskipun dapat menebak jika perempuan ini tak memiliki sifat selembut Harum, ia tetap saja penasaran.

Jeanna lantas menggoyangkan telunjuknya, memberi isyarat agar Parama lebih mendekat ke arahnya.

"Lihat, lihat."

Dua temannya bersorak, sementara Parama mendekatkan wajah dengan begitu percaya diri. Ia sempat terpana saat melihat senyuman manis Jeanna yang menyambutnya hangat.

Bugh

Parama menjerit, tangannya sibuk menutupi keningnya yang merah. Perempuan itu ... si kurang ajar itu saling menjedotkan kening mereka. Di luar dugaan, kening 'gebetan baru'-nya lebih keras daripada telur rebus.

Seketika semua mata tertuju ke arah sumber keributan. Parama yang menjerit kesakitan di lantai kantin menjadi tontonan dan pembicaraan. Sama halnya dengan sosok Jeanna yang berdiri angkuh, tak malu jidat kemerahannya terpampang nyata. Semua orang tiba-tiba menjadi penasaran dengan gadis yang tak takut melukai berandalan macam Parama.

"Dengar." Jeanna menarik kerah kemeja Parama. Di belakang sana, Pinokio dan Suneo tidak bisa berbuat apa-apa, takut ikut diserang. Mereka tak ingin jidat mulus yang jadi kebanggaan memerah layaknya milik Parama.

KEMBALI HIJAU: Bumi DhanurendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang