"URUSAN YANG BELUM USAI"
... ...Jeanna masih berdiri mematung di depan gerbang utama Universitas Garuda. Klakson motor yang terdengar bak jeritan soang bergantian memberinya peringatan. Dengusan para mahasiswa pun hanya masuk telinga kanan lalu keluar melalui telinga kiri. Meski begitu, hatinya belum bisa memberi keyakinan pada otak. Apa menyerah saja, ya?
BRUK
Bahunya ditabrak seseorang dari arah belakang. Tas serut yang sedari tadi Jeanna sembunyikan dalam pelukan pun terjatuh, menampilkan jelas garis-garis lurus warna merah-hijau dan logo double G yang tersebar di mana-mana. Oh sial, tas Gucci KW supernya!
Ternyata, perempuan semampai yang menabraknya memiliki gerak refleks lebih cepat. Tas serut yang hanya berisikan satu buku tulis tipis kini berada di tangan si pelaku. Kemudian, telinga Jeanna mulai mendengar suara cekikikan.
"Teman-teman, lihat, deh! Sejak kapan Gucci mengeluarkan tas serut murahan begini? Duh, memalukan sekali."
Dua perempuan di samping kiri-kanan si semampai tertawa satir. Mereka nampak seperti para dayang putri kerajaan. Jeanna baru sadar bila tiga gadis menyebalkan ini mengenakan barang-barang branded dari kepala hingga kaki.
"Sekarang ini, banyak orang miskin yang tidak punya malu, ya."
Setelah melempar tas serut murahan tepat di dada Jeanna, ketiganya lekas melanjutkan langkah dengan ringan, tanpa sedikitpun rasa bersalah.
Wajah Jeanna berubah menjadi merah padam. Jelas ia merasa tidak terima karena telah direndahkan seperti itu, oleh anak awal 20-an pula! Bibirnya mengeluarkan decihan, memikirkan koleksi tas branded-nya di dalam kamar.
Selama ini dirinya selalu berada di dalam 'zona nyaman', seperti kehidupan tiga gadis sombong tadi. Sejak kecil hingga dewasa, ia disegani oleh orang-orang. Semua itu karena Jeanna adalah anak orang kaya yang tidak akan pernah kehabisan uang.
"Berani-beraninya kalian merudung anak orang! Aku saja tidak pernah begitu," desisnya. Kedua telapak tangannya mengepal kuat, kemudian melayangkan tinju di udara.
Setelah puas mengoceh tak jelas, iapun mendengus dan mulai bergerak maju. Rupanya, mendapat perlakuan tidak mengenakkan dari orang lain mampu membangkitkan motivasi. Ya, motivasi untuk membalas dendam. Persetan jika lawannya lebih muda delapan tahun!
Di pelataran parkir gedung fakultas yang Jeanna tidak ketahui bidangnya ini, lebih banyak mobil yang terparkir alih-alih kendaraan roda dua macam motor dan sepeda. Nampaknya, mahasiswa yang mengambil jurusan di fakultas ini banyak berasal dari kaum elite. Apa menyebrang saja ke gedung seberang? Tidak! Buang-buang waktu saja. Toh, ia bukan mahasiswa sungguhan.
Kakinya belum sepenuhnya pulih. Jalannya masih sedikit pincang dan lambat. Dibuktikan oleh banyaknya orang yang berjalan mendahului. Namun, baru saja ia menginjakkan kaki di gedung fakultas, tiba-tiba saja seorang mahasiswi menjerit.
"Hei, lihat ini!"
Mahasiswi 'kutu buku' itu mengangkat tinggi koran kampus. Wajahnya pucat, menandakan bila ada sesuatu yang mengejutkan di dalam lembar hitam-putih dalam genggamannya.
Jiwa-jiwa kuli tinta Jeanna mendadak muncul. Tanpa sadar, kakinya ikut berjalan menuju si pusat perhatian. Dalam sekejap dirinya sudah berada di dalam gerombolan pelajar yang penasaran.
"Kak Guntur melakukan pelecehan seksual kepada seorang mahasiswi."
"Ya ampun? Yang benar?"
"Gila juga, ya, nyali anak pers yang menerbitkan berita."
"Eh, ini benar tidak, sih? Masa anak Pak Rektor berbuat begitu?"
"Tidak ada nama anak yang menulis, ya?"
"Tidak. Sepertinya sengaja dibuat anonim. Tapi pelakunya jelas anak pers."
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI HIJAU: Bumi Dhanurendra
ChickLitDI akhir 20-an, Jeanna Hope masih juga melajang. Merasa putus asa sekaligus bertekad memuaskan 'ledakan penasaran', dirinya pun memutuskan untuk membeli minuman populer itu, KEMBALI HIJAU. Saat itu, tujuannya hanya satu; mencari jodoh yang tak kunju...