Chapter 35

99 18 54
                                    

"Empat Mata"
... ...




Yang dilakukan Bumi seharian penuh—selain mengikuti kelas dan bolak-balik dari organisasi satu ke organisasi lain—adalah menghela napas panjang. Meski di depan sana Presiden Mahasiswa (PRESMA) tengah mengoceh lantang, memimpin rapat yang tak kunjung usai, pikiran Bumi tetap tidak bisa diam di tempat. Ingatan yang paling disukai otak realistis dan emosinya yakni insiden malam itu.

Perbuatan Jeanna malam itu terus berputar tanpa henti di kepala layaknya film Home Alone yang selalu tayang di televisi tiap musim libur sekolah. Jika seperti ini terus, bisa-bisa Bumi ketularan 'gila' dan jelas ia tidak mau mengalaminya. Tapi masalahnya ... itu merupakan ciuman pertamanya.

"Aish, perempuan itu-" lirihnya, menyamarkan rona merah di pipi dengan cara mengusap-usap gusar wajah. Selain itu, seharian penuh Jeanna tak menampakkan batang hidungnya, seakan melarikan diri dari masalah yang dibuat.

Rapat berakhir pukul sepuluh tiga puluh tanpa titik temu. Semua anak BEM keluar bergantian dari sekretariat dengan wajah tertekuk serta masam. Diam-diam mereka menggunjing sang PRESMA yang tak kompeten dan terkesan plin-plan, merasa salah suara saat masa pemilihan.

Wajah Bumi juga tak kalah kusut, namun penyebabnya jelas bukanlah rapat. Dengan sabar ia menunggu sang PRESMA yang tengah menjejalkan barang bawaan ke dalam ransel. Bumi terpaksa menjadi si paling akhir karena kunci sekretariat BEM selalu berada padanya. Anak-anak beralasan bila Bumi akan selalu ada di kampus—kecuali hari libur.

Tak ada percakapan diantara mereka. Selain karena tidak terlalu dekat, suasana hati sang PRESMA pasti sedang tak enak sampai tidak memiliki tenaga untuk basa-basi.

Seusai mengunci pintu, ia mematung sesaat begitu mendapati sosok yang paling dicari tengah tertidur seperti gelandangan di bangku seberang. Kepala Jeanna yang layu semakin turun dan turun sebelum akhirnya telapak tangan Bumi menahan keningnya—menghentikan pergerakan yang akan menyebabkan Jeanna jatuh ke lantai bak orang idiot.

Lagi-lagi Bumi menghela napas panjang seraya memerhatikan Jeanna penuh keprihatinan. Namun, bukannya membangunkan si putri tidur, ia justru ikut duduk di sebelah si gadis, dan membiarkan bahunya menjadi tempat peristirahatan kepala yang kuyu.

Bumi membunuh kebosanan dengan bermain game snake di ponselnya. Suara bip bip bip saat ular memakan umpan keluar begitu nyaring, menghiasi kesunyian. Disaat skornya hampir mencapai dua ribu, tiba-tiba saja kepala ular menabrak ekor. Kekalahan ini terjadi karena Jeanna yang masih tertidur di sebelahnya tiba-tiba menggenggam tangan kirinya.

"Ayam ... ayam goreng-"

Oh sial! Bumi mengeraskan tangannya dam berusaha meloloskan diri dari cengkraman Jeanna yang tengah memimpikan ayam goreng. Bumi tidak tahu, tetapi bisa-bisanya tenaga si gadis jauh lebih kuat dibanding dirinya saat tengah bermimpi.

Pada akhirnya, tak ada jalan lain selain menggetok kening Jeanna dengan buku-buku jemarinya. Gadis itu sontak terbangun dan gagal menggigit tangan Bumi. Ia meringis sembari mengusap-usap keningnya.

"Ah, HEI-" Jeanna yang hendak meluapkan marah lantas kembali terduduk kikuk saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya. "O-oh, hai," sapanya canggung. Rasanya hendak memakai atribut penyamarannya kembali. Tapi setelah dipikir-pikir, tak ada gunanya juga melakukan hal itu.

"Setelah menciumku, sekarang kau mau menggigit tanganku juga?"

Wajah Jeanna langsung memerah dan bola matanya bergerak sembarang arah. "Ya Tuhan, gamblang sekali," ringisnya, "Jangan bahas hal itu lagi ...."

"Jadi, kau ingin melarikan diri?"

"Bukan begitu." Jeanna menghembuskan napas berat. "Baiklah, aku mengaku salah. Malam itu aku bertindak gila karena pengaruh alkohol. Anggap saja kejadian malam itu tidak pernah terjadi."

Kesepakatan Jeanna tidak diterima oleh Bumi yang nampaknya enggan berdamai. Lantas, Jeanna yang lebih sering berpikir pendek daripada panjang pun berkata, "Ya sudah, cium balik saja aku biar impas." Gadis itu lekas mendongakkan kepala, memejamkan matanya rapat-rapat, menunggu bibir si lelaki dengan hati berdebar.

"Aku tidak tertarik kepadamu."

Jawaban Bumi tentu saja membuat Jeanna malu setengah mati. Dengan wajah merah padam dan mata yang membelalak, ia menyahut, "KAU KIRA AKU JUGA TERTARIK KEPADAMU?" Suaranya melengking, seperti teriakan lumba-lumba. Setelah itu, seluruh lampu di student center pun padam.

Bumi yang sudah kembali duduk segera melihat jam di layar ponsel. Jam sebelas tepat, wajar seluruh lampu area kampus dipadamkan.

"Ada apa?"

"Ya?"

"Pasti ada alasan kenapa kau mau menemuiku. Jika tidak, kau pasti tak berani menampakkan batang hidungmu di hadapanku." Diam-diam Bumi melirik atribut penyamaran yang berada di pangkuan Jeanna.

"Ah, benar." Jeanna menggigit bibir dalamnya, menimbang-nimbang apakah ia perlu membicarakan seminar itu sekarang.

"Kau tahu Gendhis Kartika?" tanya Jeanna.

Bumi diam sejenak, mengingat-ingat dimana ia pernah mendengar nama tersebut. "Oh, news anchor yang sering wara-wiri di televisi. Memangnya kenapa?"

"Kau tidak tahu?"

"Tahu apanya?"

Jeanna meringis. Ternyata Bumi benar-benar sibuk sampai tak memiliki waktu untuk melihat mading. Lalu, apa tak ada satupun anak-anak organisasi yang membicarakan seminar terbatas itu?

"Kudengar dia akan mengadakan seminar. Kuotanya hanya seratus lima puluh mahasiswa, dari seluruh fakultas."

"Lalu?"

Jeanna menghela napasnya. "Daftarkan dirimu," pintanya.

Dengan wajah datar, Bumi menjawab, "Aku tidak tertarik." Jawaban yang mudah ditebak Jeanna.

"Karena itu daftarkan dirimu saja. Nanti, biar aku yang menghadiri seminarnya."

"Kau kan bisa daftar sendiri?"

Jeanna yang tak bisa jujur lantas kembali berdusta. "Dua lebih baik daripada satu. Aku ini gadis yang tidak beruntung. Jadi, menurut feeling-ku, aku pasti akan tersingkirkan. Lagi pula ..." Jeanna mendekatkan bibirnya di telinga Bumi. "Ini rahasia, ya. Foto KTM-ku jelek luar biasa. Staf itu tidak bisa mengambil foto dengan baik."

Dari cahaya layar ponsel, Bumi menatap aneh Jeanna. "Apa hubungannya foto KTM dengan terpilih atau tidaknya kau?"

"Jangan pura-pura bodoh. Panitia seminar pasti memilih perempuan good-looking untuk mengisi kuota. Biar sekalian mereka bisa cuci mata." Jeanna lantas mendesah frustasi. "Ayolah, bantu aku sekali ini saja. Aku benar-benar ingin bertemu Gendhis Kartika."

"Apa untungnya bagiku jika membantumu?"

"Aku akan menuruti semua kemauanmu jika kau bersedia membantu dan berhasil mencetak gol," ucap Jeanna sungguh-sungguh.

"Semuanya?"

Jeanna mengangguk ragu, kemudian menambahkan, "Syarat dan ketentuan berlaku."






...

Oh ya, yang mau kasih dukungan biar aku makin semangat menulis, bisa kunjungi link ini:

https://saweria.co/vgirlsworld

Terima kasih.

KEMBALI HIJAU: Bumi DhanurendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang