"BURONAN PARAMA"
... ...Satu Universitas mengenal Parama Zalman, putra tunggal seorang CEO dari PT Zalman Karya (ZAKA) Tbk, perusahaan konstruksi terbesar di Indonesia, yang masih satu lingkaran pertemanan dengan Guntur Pamungkas, si anak rektor.
Laki-laki itu tak kenal takut dan kerap bersikap semena-mena tanpa pandang buluh. Bahkan jejeran dosen killer sampai menundukkan kepala jika mereka saling berhadapan. Nilai-nilai semesternya? Siapapun tahu jika itu hasil manipulasi.
Jelas kedatangannya ke kampus bukan untuk menimba ilmu melainkan untuk bersenang-senang lalu keluar dengan gelar Sarjana. Bagi Parama, belajar itu tidak ada gunanya. Toh, di masa depan kekayaan sang ayah akan jatuh jua ke tangannya.
Orang-orang menjulukinya 'Berandalan Gila' (BGST: bangsat). Para perempuan cantik tak segan ia rayu dan yang 'kutu buku'—tidak menonjol—senantiasa dirundung. Dan semester ini ia telah memutuskan target selanjutnya; anak baru pemberani.
"Kau yakin?"
"Tentu saja."Parama menginjak puntung rokok yang masih menyala, mengoyak habis-habisan hingga tercerai-berai. Lantas ia menyandar pada punggung sofa dan menyalakan sebatang tembakau lagi. Kali ini ia mencucut sambil menyeringai.
"Tapi, perempuan itu terlihat ... berbahaya."
Parama tertawa lantang. Temannya ini memang tak pandai menilai wanita. "Dia itu hanya belut yang licin, bukan ular. Dia tak mematuk, hanya sulit ditangkap. Jika berhasil menangkapnya, akan kucekik sampai belut menyebalkan itu tak dapat berkutik lagi," paparnya sembari membayangkan keberhasilan yang menurutnya 99 persen pasti akan terjadi.
"Jadi, apa rencanamu?"
"Akan kulakukan seperti yang sebelum-sebelumnya. Namun, kali ini akan lebih banyak membuang tenaga."Gumpalan asap berbentuk huruf O keluar dari mulut Parama. Langkah pertama, ia harus mencari latar belakang si wanita karena biasanya terdapat 'kelemahan' di dalam sana.
... ...
Jeanna melihat-lihat brosur iklan berbagai UKM dalam genggaman, dimulai dari bidang seni sampai minat khusus. Ia menelengkan kepala, meraba-raba UKM apa saja yang Galuh ikuti—kecuali pers. Jadi ... UKM apa saja yang anak-anak 'pintar' ikuti?
Setelah sadar bila tebak-menebak tak akan menyelesaikan permasalahan, iapun mulai berkeliling guna melihat-lihat UKM yang sekiranya akan diikuti si pemuda. Kebetulan sekali beragam UKM bidang olahraga tengah menguasai lapangan sore ini.
Lapangan indoor adalah tujuan utama. Matanya memicing dari sisi kiri ke kanan, melihat ke arah anggota basket dan badminton yang tengah melakukan pemanasan. Sayangnya, keberadaan Galuh tak ia temukan. Laki-laki bukan bagian dari dua olahraga ini. Tak ingin tiba-tiba di rekrut sebagai anggota baru, Jeanna yang tak pandai olahraga inipun lekas melipir pergi.
Lapangan outdoor yang teramat luas dan terbagi-bagi sesuai dengan cabor lekas ia kunjungi. Pemberhentian pertama tak membuahkan hasil—tak ada perempuan di UKM sepak bola. Di lapangan baseball banyak perempuan-perempuan yang bersorak sambil menepuk-nepuk balon sepanjang tongkat pemukul. Jeanna sudah mencermati setiap wajah pemain yang tengah bertanding, tak ada sosok Galuh di sana.
Terakhir, lapangan tenis yang peminatnya seimbang antara laki-laki dan perempuan. Jeanna menghembuskan napas panjang karena yang dicarinya pun tak ada di sini.
"Apa tak ada cabor yang disukainya, ya?" Jeanna menggaruk kepalanya yang tak gatal. Selepas mencoret UKM bidang olahraga dari daftar, iapun berlalu pergi. Tak ingin membuang-buang waktu sebab masih banyak sekretariat UKM yang mesti didatangi.
DUK
Sebuah bola tenis usang menempa kepala belakangnya dan bunyinya terdengar garing. Diraihnya bola tenis yang berhenti menggelinding di belakangnya, kemudian mengamati para pemain di lapangan sana. Sengaja atau tak sengaja, ia harus menerima permintaan maaf.
"1-1!"
Jeanna menajamkan penglihatannya. Mulutnya terbuka lebar begitu melihat Parama yang berlari ke pinggir lapangan, sengaja menghampirinya. Tidak salah lagi, laki-laki inilah pelakunya.
Dikembalikannya bola hijau tersebut tepat setelah Parama berhenti di hadapannya. Jeanna tak membuang-buang waktunya untuk orang tidak penting macam lelaki sinting ini. Lantas ia berbalik dan berlalu tanpa mengeluarkan sepatah pun kata.
"Sudah mau pulang?"
Parama meninggalkan raket tenisnya begitu saja dan mulai mengejar Jeanna yang keberadaannya belum terlalu jauh.
"Biar kuantar pulang!"
"Aku tahu kau tinggal di toko reot pinggir jalan itu. Hmm ... apa ya nama tokonya?"Parama sengaja menggoda Jeanna dengan pura-pura melupakan nama toko kelontong milik seorang nenek renta.
"Bagaimana jika kita mampir ke bar? Aku akan mentraktirmu minum sepuasnya."
"Lantai dansanya nyaman, kau tidak akan terpeleset jika menari di atasnya."
"Oh, bagaimana kalau pergi karaoke saja?"Parama yang berhasil mensejajarkan langkah dengan santainya merangkul pundak Jeanna. Ia dapat merasakan tubuh yang menegang, seolah baru saja tersengat aliran listrik.
"Kau mau kubuat masuk rumah sakit?"
Parama terkekeh dan memperkuat rengkuhannya. Ia suka melihat belut ini kesulitan.
"Hotel saja, bagaimana?"
"Sinting!"... ...
"Ah, sial!"
Jeanna merutuk sembari melihat sekitar. Pintu sekretariat pers terkunci. Nampaknya, hari ini tak ada kegiatan yang mengharuskan pintu ruangan terbuka. Ia makin bergidik saat menyadari betapa sepinya lantai tiga student center ini, tak seperti biasanya. Apa semuanya tengah libur serentak?
Tak ada pilihan lain, Jeanna mulai berkeliling untuk mencari ruangan yang tak terkunci. Disisirnya seluruh pintu sampai akhirnya berhasil masuk ke sekretariat 'bahasa' yang dipenuhi dengan buku-buku sastra.
Ia berlindung di balik rak buku setinggi leher, membuatnya harus menunduk sedikit agar persembunyiannya sempurna. Kedua matanya tak lepas dari pintu sekretariat, takut-takut Parama berhasil menemukannya di dalam sini.
"Apa yang kau lakukan?"
Jantung Jeanna hampir copot dan kakinya hampir berubah menjadi jeli ketika mendengar suara dari arah sampingnya. Ia menengok, namun tak bisa bernapas tenang setelah tahu jika itu Bumi—sumber masalah keduanya.
Tahu jika Bumi akan membuat kebisingan dan membeberkan tempat persembunyiannya, Jeanna lekas membekap mulut si lelaki.
"Tolong seperti ini sebentar saja. Aku sedang dikejar orang gila—"
Bumi berhasil menyingkirkan telapak tangan yang menutup hidung dan mulutnya bersamaan, yang sempat membuatnya kesulitan bernapas.
"Kenapa aku harus ter— lwibwatskskhj ...."
Jeanna kembali menyumbat paksa mulut Bumi, kali ini dengan benar. Kemudian, sudah dapat ditebak, keduanya mulai bertikai dalam diam. Yang laki-laki berupaya melepaskan diri, sementara si perempuan terus-menerus mendekatkan diri.
"Kau ini kenapa tidak bisa diajak kerja sama sedikit, sih?" Geram Jeanna seraya terus memojokkan Bumi hingga ....
DUK
... kesialan menimpa si lelaki. Kakinya tersandung buku-buku di karpet yang dengan segera membuatnya limbung dan terjatuh.
Jeanna terperanjat, namun lebih terkejut lagi setelah telinganya mendengar erangan Bumi. Tanpa pikir panjang, iapun lekas menduduki tubuh Bumi dan kembali membekap mulut si lelaki.
Mata gemetarnya melirik ke arah gagang pintu yang tertekan. Jika Parama berhasil menemukannya, ia akan meminta pertanggung jawaban Bum—
CKLAK
"ASTAGA! Apa yang kalian berdua lakukan di dalam sini?"
Itu bukan Parama, melainkan salah satu anggota UKM Bahasa yang ingin mengambil ransel. Bumi dan Jeanna terdiam sejenak, saling melempar pandang ke arah mahasiswa yang nampak syok. Sebelum akhirnya Bumi menggetok kepala Jeanna dan mendorongnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/343011106-288-k495527.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI HIJAU: Bumi Dhanurendra
ChickLitDI akhir 20-an, Jeanna Hope masih juga melajang. Merasa putus asa sekaligus bertekad memuaskan 'ledakan penasaran', dirinya pun memutuskan untuk membeli minuman populer itu, KEMBALI HIJAU. Saat itu, tujuannya hanya satu; mencari jodoh yang tak kunju...