Chapter 25

104 16 19
                                    

"Dua Orang Pasif"
... ...

Harum menyukai Bumi sejak SMA. Keduanya sama-sama anak IPS namun berbeda kelas. Bumi terkenal akan keaktifannya dalam kegiatan ekstrakurikuler juga bagian dari kepengurusan OSIS. Dirinya masih ingat banyaknya cokelat yang Bumi dapat saat hari valentine.

Harum merupakan salah satu siswi yang beprestasi namun tidak pandai bergaul. Orang tuanya terlalu otoriter, tak memperbolehkan anaknya melakukan kegiatan apapun selain belajar. Karya ilmiah merupakan satu-satunya ekstrakurikuler yang Harum ikuti—tentunya atas seizin orang tua. Oleh sebab itu, sampai detik ini ia masih dikenal sebagai 'gadis pasif'.

Harum sempat terkejut saat menyadari kepopulerannya begitu kegiatan perkuliahan dimulai. Saat ospek gabungan antar fakultas, banyak senior yang meminta nomor telepon rumahnya. Tanpa disadari, dirinya juga menerima perlakuan khusus selama masa perpeloncoan. Ketika ia bertanya mengenai daya tariknya, orang-orang yang menyukainya serempak menjawab, "Karena kau cantik."

Cantik atau tampan itu memang relatif. Tetapi, beauty privilege itu nyata.

"Kalian sudah dengar gosipnya? Bumi dan Popeye wanita itu benar-benar berpacaran?"

"Eh? Serius? Kau dengar dari mana?"

"Kau tidak tahu? Anak-anak hukum banyak yang membicarakannya."

Harum mendengar kabar mengejutkan itu ketika ia tengah menyantap makan siang di kantin. Detik itu juga selera makannya lenyap, nasi gorengnya tersisa lumayan banyak. Teh hangat ia seduh tanpa berpikir.  Alhasil, lidahnya melepuh dan sebagian isi gelas tumpah ke atas meja.

"Kau tidak apa-apa, Rum?" tanya teman yang duduk disebelahnya sembari memberi segelas air putih.

Harum menggelengkan kepalanya, senyumnya tersungging amat tipis. "Popeye wanita?" ucapnya, mencoba bergabung dengan pembicaraan tiga temannya tadi.

"Anak ekonomi menyebutnya begitu, Popeye wanita. Kalau tidak salah, anak-anak hukum memanggilnya kepala telur. Tahu 'kan? Perempuan pemberani yang meretakkan tengkorak Parama."

Berbeda dengan yang lain, Harum mengenal Jeanna sebagai seorang pencuri yang telah menyita waktu Bumi. Ia tak bisa memikirkan alasan keduanya berpacaran. Padahal, hubungan keduanya amat sangat tidak baik pada mulanya.

"Sudah kutebak, tipe ideal Bumi itu gadis-gadis pemberani yang setidaknya bisa menjaga diri sendiri."

"Tapi, aksi Popeye wanita hari itu memang keren, sih."

Untuk pertama kalinya Harum merasa tersinggung. Haruskah ia yang pasif ini menyerah sebelum berperang? Apakah ini waktunya untuk melepaskan keberadaan 'cinta pertama'-nya?

Sayangnya, Harum tidak akan pernah bisa melakukannya—menyerah.

... ...

Galuh merasa kosong saat membaca gosip hangat yang tertempel di mading jurusan. Ia baru saja hendak melakukan pendekatan, tetapi—entah bagaimana—Bumi bergerak lebih cepat. Pada akhirnya, gadis yang disukai hanya menjadi angan-angan.

Kepalanya berputar ke kiri dan mendapati sosok Bumi yang tengah memandang resah kertas mading. Selain judul, gambarnya dua kali lebih membuat syok. Di bawah judul yang sengaja di-bold, terdapat gambar jelek sepasang muda-mudi yang tengah berciuman, seperti coretan anak TK.

Tepat di tengah-tengah mereka berdiri seorang gadis aneh berkacamata hitam yang akhirnya Galuh ketahui identitasnya.

Saat kata-kata itu keluar dari mulut Jeanna sendiri, bahwa keduanya memanglah sepasang kekasih, Galuh tak dapat lagi membendung rasa kecewanya. Ia melengos pergi, membawa perasaannya yang terluka juga rasa penyesalan.

Berhari-hari ia menghindari Jeanna. Keduanya kini tak lagi berbincang panjang, hanya saling menyapa jika tidak sengaja bertemu. Galuh mengira, dengan begitu ia bisa menghapus perasaan tak berbalasnya, mengembalikan dirinya seperti semula. Akan tetapi, dugaannya jauh meleset. Jeanna, cinta pertamanya, tak semudah itu dapat ia lupakan.

"Kuperhatikan kau tidak pernah pulang bersama kekasihmu. Siapa namanya? Je ... Je—"

"Dia bukan anak kecil, bisa pulang sendiri."

Hestama berdecak. "Kau ini bagaimana? Dia 'kan pacarmu. Perhatianlah sedikit. Jika kau seperti ini terus, bisa-bisa dia selingkuh, loh." Hestama sebenarnya hanya bercanda, namun jawaban yang didapatnya sungguh diluar nalar.

"Aku tidak peduli."

Percakapan antara Hestama dan Bumi di sekretariat pers tak sengaja Galuh dengar. Tiba-tiba dirinya merasa marah atas jawaban yang dilontarkan Bumi. Jika tidak bisa memberi perhatian, mengapa berpacaran?

"Kurang asem kau Bum! Dia itu pacarmu, loh."
"Ya, terus?"

Nada bicaranya benar-benar menjengkelkan, membuat Galuh berpikir jika Bumi hanya hendak main-main dengan Jeanna. Dari situlah Galuh memutuskan untuk kembali berperang dan tidak akan pernah mengalah. Jeanna pantas mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik daripada Bumi.

... ...

Pemandangan pertama yang Bumi lihat saat keluar dari sekretariat pers adalah Galuh yang berjalan bersama dengan Jeanna. Selama beberapa detik ia mematung dan hanya fokus memandang, sebelum akhirnya Hestama turut keluar dari dalam ruangan.

Tangan lelaki itu dengan santai merangkul Bumi dan pada detik berikutnya bola matanya menangkap pemandangan yang sama.

"Bukannya itu pacarmu, Bum? Jeanna namanya, kan?" Hestama melirik kearah Bumi, mencoba membaca ekspresinya. Akan tetapi, lagi-lagi yang ia dapat hanyalah wajah tanpa raut.

"Kau tidak berniat pulang dengannya? Mau membiarkan pacarmu pulang dengan laki-laki lain? Mereka hanya berdua, loh ...."

"Tidak."

Hestama berdecak dan memandang sinis Bumi. Sebenarnya, laki-laki ini tahu caranya berpacaran tidak?

"Dilihat-lihat mereka serasi juga, ya." Hestama coba memancing Bumi sekali lagi, berharap dapat ikan yang besar kali ini. Namun, lagi-lagi yang didapat hanyalah zonk.

"Ya."

Rasanya Hestama bisa gila jika berbicara lama-lama dengan Bumi. Lebih sulit daripada menghapal pasal-pasal.

"Bumi!"

Jeanna menoleh ke belakang sesaat begitu telinganya tak sengaja mendengar suara perempuan yang memanggil Bumi dengan lantang. Dapat ia lihat Harum yang berlari kecil menghampiri Bumi dan Hestama.

"Halo, Harum." Hestama melambai dan Harum membalasnya dengan senyuman manis. Selama beberapa saat Hestama dapat melupakan kekesalannya terhadap Bumi.

"Apa saat ini kau punya waktu kosong?"

Bumi diam sejenak, kemudian mengangguk.

"Maukah kau menemaniku ke toko buku? Kak Cayapata memintaku mencari buku politik publik. Tetapi aku kurang mengerti. Takutnya salah beli."

"Tentu saja."

Hestama menganga, sedangkan Harum tersenyum semakin lebar.

"Terima kasih. Aku akan mentraktirmu," girangnya.

KEMBALI HIJAU: Bumi DhanurendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang