Chapter 31 (II)

111 19 58
                                    

"Kejutan"
... ...

Melalui SMS, Galuh mengungkapkan nama ruang rawat inap yang ditempati sang adik: Alamanda. Karena lift sedang dalam perbaikan, tangga menjadi satu-satunya akses untuk sampai ke lantai tiga.

Beberapa saat setelah memasuki ruangan yang memiliki sepuluh kamar, ketiganya dapat menemukan keberadaan Galuh. Punggung yang semula bersandar lesu pada dinding dingin lantas menegak. Disaat yang sama, tangan kanannya turut melambai canggung.

Di antara mereka bertiga, Jeanna yang terlihat paling bersemangat. Gadis itu membalas lambaian tangan Galuh dengan penuh semangat, lalu berlari menghampiri.

"Bagaimana kondisi adikmu?" tanya Jeanna sembari menyerahkan sekantong penuh jeruk mandarin yang mereka beli dengan uang Bumi. Ia mencoba mengintip ke dalam dari kaca pintu, namun tak tahu di mana adik Galuh terbaring.

"Sekarang sudah baik-baik saja." Selepas melontarkan jawaban, Galuh menuntun Jeanna masuk ke dalam kamar inap yang terdiri dari enam kasur. Kebetulan, tempat tidur adik Galuh letaknya paling ujung, dekat kamar mandi dan jendela.

"Kau sendirian?" Bumi yang mengekor dari belakang bertanya dan Galuh membalasnya dengan anggukan kecil.

"Orang tuaku dua-duanya masih bekerja. Mungkin diatas jam sembilan malam baru tiba," jelasnya, mengusap-usap tengkuk penuh kecanggungan. Sementara itu di atas bedside cabinet terdapat sebuah parsel besar berisi beragam buah-buahan, pertanda bila anak-anak pers memang mampir kemari.

"Seharusnya kalian tidak perlu repot-repot kesini." Galuh benar-benar merasa tak enak hati. "Kudengar, kalian baru kembali dari rumah duka ... hmm, apa Nimas sungguh bunuh diri?" tanyanya, sengaja mengecilkan suara agar orang lain tak dapat mendengar.

"Katanya begitu," sahut Bumi singkat. Setelah diungkit berkali-kali, sekarang ia jadi ikut ragu. Apa benar bunuh diri?

"Aku merasa kasihan pada Nimas dan keluarga yang ditinggalkan," lirihnya, membuang muka dan memandang jauh ke luar jendela. Ia dan Nimas sama-sama berasal dari keluarga kurang mampu. Meski berbeda angkatan, keduanya kerap bertemu di seminar-seminar yang yayasan (pemberi beasiswa) adakan—selain kegiatan organisasi.

Keempatnya terdiam selama beberapa detik sebelum perut Hestama mengeluarkan suara aneh. Laki-laki itu memegang perutnya dan tertawa renyah. Kenyataannya, sejak pagi perutnya sama sekali belum terisi oleh nasi— makanan yang menurutnya mengenyangkan.

"Oh ya, Luh, kantin di sebelah mana, ya? Perutku sepertinya enggan diajak kompromi, haha."

Hestama menggaruk-garuk kepalanya dan mencoba mengingat arah jalan yang Galuh bicarakan. Karena tak mau keluyuran sendirian, dengan sangat terpaksa ia menyeret Bumi untuk ikut makan bersamanya.

"Bum, temanilah aku makan di kantin. Malu aku makan sendirian di sana," bisik Hestama. Tangannya sibuk menarik-narik lengan Bumi.

Bumi menghela napas panjang. Mau tak mau ia pergi bersama dengan Hestama. Jika tidak begini, bisa-bisa Galuh menawarkan diri untuk menemani. Sangat tidak enak untuk mereka jika kejadiannya seperti itu.

"Perutmu itu seperti karet, tidak bisa kenyang. Tadi di rumah Nimas kau sudah makan tiga mangkuk mie kuning!"

"Kau sudah tahu sendiri, jika belum dapat asupan nasi, itu berarti 'belum makan'!"

Setelah Bumi dan Hestama keluar dari dalam kamar, Galuh kembali buka suara. "Untuk hari itu, maaf." Akhirnya, tak ada lagi yang mengganjal hati. Selama beberapa hari ini ia kurang fokus karena memikirkan Jeanna. Gadis itu pasti bertanya-tanya dan kecewa padanya.

"Ei, tidak apa-apa. Bagaimanapun juga adikmu lebih penting. Kita bisa membuat rencana-rencana baru selama masih ada hari Minggu dalam kalender." Jeanna tertawa ringan, mencoba mencairkan suasana.

"Aku benar-benar minta maaf, An. Hari itu aku berniat mengabarimu, tetapi aku baru ingat kau tak punya ponsel."

"Galuh, sungguh, tidak apa-apa. Jika kau terus minta maaf, aku jadi tidak enak hati. Juga, kita tidak pernah tahu kapan musibah datang."

"Kalau begitu, aku berjanji akan mengajakmu pergi nonton konser suatu hari nanti," ucap Galuh penuh semangat.

"Benarkah?"

Laki-laki itu mengangguk. "Kau menyukai Rhoma Irama, kan? Aku berjanji akan membawamu ke sana."

Jeanna tertawa kaku guna menyembunyikan keterkejutannya. "Hahaha ... pa-pasti akan sangat menyenangkan."


... ...


"Loh, Hestama kemana?" tanya Jeanna kebingungan, kepalanya celingukan mencari keberadaan teman karib Bumi yang tiba-tiba menghilang.

"Sudah pulang duluan. Orang tuanya tiba-tiba sudah ada di kosan. Sepertinya, berita kematian Nimas sudah menyebar luas sampai ke kampung halaman Hestama."

Keduanya lekas berpamitan kepada Galuh, meninggalkan rumah sakit saat dirasa sudah terlalu lama mereka berada di sana. Akan tetapi, bukannya langsung pulang, Jeanna justru mengajak Bumi melipir sebentar ke warung sate ayam yang letaknya tak jauh dari gedung rumah sakit.

"Jika lapar, kenapa tadi kau tidak pergi berdua dengan Hestama?" gerutu Bumi. Ia yang lelah benar-benar ingin pulang dan pergi tidur secepatnya.

"Ck, tadi itu belum lapar dan hausnya masih bisa ditahan. Lagian, kau itu harus ikhlas bila diajak makan oleh pacar sendiri!"

"Pacar apanya, tsk."

"Kalau tidak mau menemani aku bisa pergi sendiri. Huh, aku juga bukan anak kecil, kok."

Meski menggerutu sepanjang jalan, Bumi tak meninggalkan Jeanna sendirian. Ia tetap mengekor dan akhirnya turut memesan air kelapa yang menyegarkan.

Jeanna yang sudah terbiasa makan makanan pinggir jalan pun mencaplok sate ayamnya dengan lahap, selang-seling dengan air kepala yang turut dipesannya juga.

"Kau punya ikat rambut?"

Pertanyaan Bumi membuat Jeanna yang tengah sibuk makan menoleh. Alisnya bertaut dan mulutnya sibuk mengunyah.

"Ya?" tanyanya dengan mulut penuh.

Namun, alih-alih kembali bertanya, mata Bumi yang sudah lebih dulu menemukan benda incaran tiba-tiba menarik ikat rambut hitam yang melingkari tangan Jeanna. Tanpa mengatakan apapun, ia lantas beranjak dari kursi plastiknya dan lekas menguncir kuda surai panjang milik si gadis.

"Apa kau tidak sadar? Ujung rambutmu hampir berendam di kuah kacang. Biasakan mengikat rambut sebelum makan."

"Oh, benarkah? Kalau begitu, terima kasih atas perhatiannya." Jeanna menyodorkan setusuk sate kepada Bumi sebagai ucapan terima kasih.

"Tidak perlu. Kau makan saja—"

"Ambil saja. Aku hanya memberimu setusuk bukan sepiring," paksa Jeanna. Dan mau tak mau Bumi menerimanya.

Selepas menghabiskan satu tusuk sate ayam dan meminum sedikit air kelapa miliknya, Bumi lantas menopang dagu dan memerhatikan Jeanna yang masih sibuk menguyah. Sesekali ia ikut tersenyum saat si gadis mengekspresikan kebahagiaannya melalui mimik wajah.

Bumi menyadarinya. Menghabiskan waktu bersama Jeanna itu melelahkan sekaligus menyenangkan.


...

Oh ya, yang mau kasih dukungan biar aku makin semangat menulis, bisa kunjungi link ini:

https://saweria.co/vgirlsworld

Terima kasih.

KEMBALI HIJAU: Bumi DhanurendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang