"Klarifikasi"
... ...Matahari benar-benar hampir menghilang bersamaan dengan sekawanan burung yang terbang pulang. Meski begitu sekelompok anak yang gemar menghabiskan uang masih ada di sana, berkeliaraan di sekitar lotre cabut—judi berkedok 'mainan anak-anak'.
"Aku mau beli lagi!"
"Aku juga!"
"500 dapat tiga kupon, kan, tante?"Uhuk!
Jeanna yang tengah menyedot minuman kemasan pouch rasa stroberi pun tersedak. Dipelototinya anak laki-laki yang baru saja memanggilnya dengan sebutan 'tante'. Setelahnya buru-buru bercermin di kaca etalase rokok, menarik-narik pipi kenyalnya.
Gerombolan anak laki-laki tadi kembali mengerubungi tempat perjudian dan bergantian mencabuti kertas-kertas kecil dengan jujur. Keriuhan lagi-lagi terdengar begitu salah satu dari mereka mendapat sebatang sabun mandi.
Jeanna melirik ke bagian depan toko. Entah kenapa, rasa ingin tahu dalam dirinya tiba-tiba meningkat. Seumur hidupnya, ia belum pernah mempertaruhkan uang untuk hal yang tak pasti.
Dirogohnya saku celana, kiri dan kanan secara bergantian. Dari dalam sana, Jeanna berhasil mengumpulkan uang receh sebanyak dua ribu rupiah dan seulas senyum berseri pun menghias wajah.
Dengan cepat Jeanna menghampiri nenek Mar yang tengah menghitung stok barang di belakang. Dilepaskannya koin-koin berharga tepat di atas telapak tangan si perempuan renta.
"Aku juga akan bertaruh."
"Ya?"Nenek Mar yang kebingungan dapat melihat jelas api semangat dari binar mata Jeanna.
"Itu—" Jeanna menunjuk anak-anak di pekarangan depan, memperjelas perkataannya. "Aku juga ingin menguji keberuntungan. 2000 berarti aku memiliki dua belas kesempatan!" lanjutnya.
"Akan kubuktikan jika aku ini hanya tidak beruntung soal cinta saja," gumamnya sembari meregangkan jari-jari tangan. Jeanna ingat apa yang orang-orang katakan padanya, tentang ketidakberuntungannya.
'Terlahir kaya raya, namun tak punya ibu. Lulusan universitas bergengsi di Australia, tapi hanya bekerja sebagai wartawan di media kecil. Berparas cantik, sayangnya tak kunjung menikah. Benar-benar tidak beruntung.'
"Minggir!"
Suara besar Jeanna berhasil menghentikan kicauan anak-anak. Para bocah yang kebanyakan hanya setinggi paha sampai pinggangnya pun menengok, melayangkan tatapan heran.
Jeanna lekas berjongkok, mencabuti kertas-kertas yang tergantung di bawah jejeran hadiah.
"Apa yang tante lakukan?"
"Tante? Panggil aku Kakak. Kak Jea!"Sekelompok anak yang tengah kesal itu pun saling melempar pandang, kemudian kembali memandangi Jeanna.
"Tante mau menyabotase lotre cabut ini, kan? Hah, sudah kami duga! Tante, seharusnya jangan lakukan hal-hal kotor seperti ini di hadapan kami yang sudah membayar."
Jeanna yang telah selesai memilih dan mencabut kertas-kertas angka pun berpaling, mengamati anak laki-laki berkacamata di belakangnya. Dari perawakannya, nampak jelas bila anak yang baru saja memarahinya ini berotak cerdas dan bermulut pedas.
"Mirip sekali dengan Bumi, ckck ...." Jeanna menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu pelan-pelan menjelaskan semuanya, dari A sampai Z.
Mulanya, anak-anak tadi tidak percaya karena biasanya orang dewasa gemar berbohong. Akan tetapi, ketika Jeanna lagi-lagi mendapat zonk—yang keenam kalinya—mereka pun meyakini ucapannya.
"Wah, benar-benar tangan sial."
"Kata Mamaku sih namanya tangan kotoran."
"Benar-benar tidak beruntung."Dengan wajah yang cemberut, Jeanna memutar kepalanya. Dagunya terangkat tinggi dan dengan sombongnya bertanya, "Hahaha, kalian juga pasti sama sepertiku—"
Ia tak jadi melanjutkan ucapannya. Kata-katanya tertelan begitu saja kala melihat semua anak memamerkan hadiah dari lotre cabut, mulai dari sabun mandi sampai dengan boneka barbie KW.
"Demi kerang ajaib! Apa hanya aku yang sial di dunia ini?"
Namun, pada akhirnya ia berhasil mendapatkan kacamata hitam bergagang merah muda.
... ...
Dari balik kacamata hitam, bola mata Jeanna bergerak kesana-kemari, berusaha membaca situasi. Selama Bumi dan Galuh mengapitnya, memblokir akses kabur dari arah kiri dan kanan, ia tak bisa melarikan diri.
Sembari menarik turun topinya, matanya bergulir mencari celah untuk kabur. Merasa jika 'berjalan mundur' adalah pilihan terbaik, kakinya pun perlahan-lahan mulai bergerak.
Namun, belum beberapa langkah ia pergi, tiba-tiba saja lengannya dicekal oleh seseorang dari sebelah kiri.
Sebelah kiri ... sebelah kiri ...
Begitu sadar, ia lantas mendongakkan kepalanya. Didapatinya Bumi yang tengah menatapnya tajam. Detik itu juga mulut Jeanna mengeluarkan suara cegukan.
"Kau salah orang. Aku bukan Jeanna."
"Tidak ada yang bertanya."Bola mata Jeanna berputar. Benar juga, Bumi hanya mencengkram lengannya dan tidak menyebutkan namanya. Itu artinya, ia sendirilah yang telah mengungkapkan identitasnya.
Jeanna berusaha menyingkirkan jari-jari Bumi satu persatu. "Ma-maksudku, kau sepertinya tengah mencari orang bernama Jeanna. Dan aku bukan D-I-A!" ucapnya penuh penekanan.
TUK
Telunjuk Bumi menurunkan kacamata hitam Jeanna hingga mata sipitnya terlihat. Meski begitu, si gadis dengan cepat membenarkan letak kacamatanya lagi.
TUK
Bumi melakukannya lagi. Kali ini kacamatanya hampir saja jatuh. Dipelototinya si lelaki sejenak sebelum memakai kembali kacamata hitamnya.
TUK
SRAKKali ini Bumi mendorong turun kacamata Jeanna dan menarik lepas topinya secara bersamaan. Orang-orang yang melihat wajah Jeanna mulai berbisik-bisik.
"Benar. Itu si kepala telur."
"Kenapa poninya seperti itu, kekeke."
"Oh, ini pacarnya Bumi?"Jeanna dengan terpaksa menoleh ke arah kanan. Galuh masih ada di sebelahnya, menatapnya heran bak minta diberi penjelasan. Namun, ia hanya bisa melemparkan cengiran sebelum balik menatap sinis Bumi.
"Apa ini? Katanya kau tidak mau berurusan lagi denganku?"
"Setidaknya, bersihkan dulu namaku. Itu namanya tanggung jawab."
Jeanna memutar bola matanya. Setelah dipikir-pikir ia memang harus memberikan klarifikasi untuk membersihkan nama mereka berdua. Ia yang menimbulkan, maka ia pula yang harus membereskannya.
Sementara Bumi melepaskan kertas 'gosip tak berdasar' dari papan mading. Jeanna pun mulai buka suara.
"Haha, aku dan Bumi sebenarnya ti—"
Jeanna menghentikan perkataannya saat matanya tak sengaja menangkap keberadaan Parama. Laki-laki itu menatapnya dengan bibir yang perlahan-lahan menyunggingkan seringaian.
"Ka-kami ti-ti—"
'Bumi, aku benar-benar minta maaf. Akan kuselesaikan masalah ini lain kali.'
"Kami memang pacaran," katanya dengan suara yang sengaja dilantangkan.
Bumi menghentikan pergerakan tangannya. Kepalanya menoleh ke sebelah kanan dengan cepat. Matanya melotot, menatap Jeanna yang terus menerus menyeretnya ke dalam lumpur masalah.
"Apa yang kau ka—"
Telapak tangan kiri Jeanna dengan tepat membungkam mulut Bumi, mendorong lelaki itu hingga kepalanya membentur papan mading. Ia membalas kekecewaan para mahasiswi dengan senyuman, namun sebenarnya Jeanna ingin sekali menangis. Apalagi saat melihat Galuh yang melangkah pergi dari hadapannya.
... ...
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI HIJAU: Bumi Dhanurendra
ChickLitDI akhir 20-an, Jeanna Hope masih juga melajang. Merasa putus asa sekaligus bertekad memuaskan 'ledakan penasaran', dirinya pun memutuskan untuk membeli minuman populer itu, KEMBALI HIJAU. Saat itu, tujuannya hanya satu; mencari jodoh yang tak kunju...