"Genangan Pertama"
... ...Jeanna hampir saja tertidur andai Bumi tidak menyentil keningnya dengan cukup kuat, bak memiliki dendam pribadi. Si gadis otomatis kembali terjaga, mengusap-usap dahinya seraya melemparkan tatapan mematikan.
"Mau sampai kapan disini?"
"Ya?"Bumi memanfaatkan dagunya, menunjuk kaca jendela yang tembus pandang. Tak ada lagi bulir-bulir air dari langit. Hujan sepenuhnya telah berhenti.
Jeanna memutar kepalanya, kembali menatap Bumi yang tengah memakai jaket kulit hitamnya. Kali ini keningnya ikut berkerut.
"Hujannya sudah berhenti. Lalu, kenapa kau memakai jaket?"
"Aku akan mengantarmu pulang."Tepat setelah menerima jawaban, sebuah jaket denim menutupi wajahnya. "Diluar dingin. Pakai itu jika tak mau masuk angin," lanjutnya.
"Cih, tidak per—"
"Cepat pakai sebelum aku berubah pikiran."
"Iya, iya. Jangan galak-galak!"Jeanna buru-buru mengenakan jaket denim yang ukurannya dua kali lipat lebih besar dari tubuhnya, kemudian membuntuti Bumi keluar rumah.
"Sebenarnya, aku bisa pulang sendiri. Otakku masih mengingat jelas jalan dari rumahmu ke toko Nenek Mar."
Bumi mendesah lirih dan memutar bola matanya. "Jadi, kau mau pulang sendiri?" tanyanya. Menurutnya, si gadis terlalu cerewet, mulutnya seolah tak memiliki rem. Jujur saja, Bumi tidak terbiasa menghadapi perempuan supel macam Jeanna.
"Eh, tidak juga!" Jeanna menarik jaket belakang milik Bumi yang sudah mengambil ancang-ancang untuk masuk kembali. "Kau ini kuno sekali. Tidak bisa membedakan mana yang serius dengan yang basa-basi," sambungnya lirih.
Kompleks perumahan Bumi dengan Toko Kelontong Kastanye berjarak tak begitu jauh, kira-kira hanya lima bila ditempuh dengan jalan kaki. Cukup dekat jika dihitung-hitung.
"Eh, keponakanmu tidak apa-apa ditinggal sendirian?"
"Kenapa? Aku juga tak pergi selamanya."Tuk
Jeanna menampar bibir Bumi kuat-kuat. "Jangan sembarangan bicara!" tegurnya. Bagaimanapun juga, Jeanna adalah satu-satunya orang yang tahu bila Bumi akan pergi dan tidak kembali.
"Tanganmu itu—" Bumi meraih dan menarik tangan Jeanna, yang kemudian memasukkan tautan jemari mereka ke dalam saku jaket kulitnya. "Kadang-kadang suka seenaknya sendiri. Menampar, memukul, mendorong ...." Bumi menutup keluhannya dengan satu hembusan napas.
Jeanna menatap tangannya yang berada di dalam saku jaket milik Bumi. Lalu, memilih untuk tak repot-repot memikirkannya. Toh, udara malam juga lumayan dingin. Yah ... setidaknya jemari Bumi yang memeluk jari-jarinya di dalam sana sedikit memberi kehangatan.
"Apa yang kau lakukan siang tadi? Berjalan sendirian seperti orang kesepian."
"Huh, kau belum tahu saja. Di masa depan nanti, akan lebih banyak orang-orang yang berpergian sendiri. Namanya me-time."
"Memangnya kau dari masa depan?"
Sindiran Bumi jelas langsung ia balas dengan kata 'tidak'. Kalaupun Jeanna berkata jujur, laki-laki jelas tak akan mempercayainya dan menyebutnya sinting.
"Sebenarnya, aku ada janji menonton film dengan Galuh. Tapi, dia tidak datang. Sepertinya ada masalah yang tak bisa ditinggalkan. Apa kau tahu alasannya?"
"Aku bukan keluarganya."
Jawaban ketus Bumi membuat Jeanna merasa kesal. Maksudnya, bisa tidak sekali saja lelaki ini berbicara lembut padanya? Apabila anak-anak di kampus menyadari keanehan mereka berdua, bisa-bisa terbongkar 'hubungan dusta'-nya dengan Bumi.
Selama perjalan, hanya Jeanna yang masih setia bercicit ria. Semua topik ia bicarakan. Mulai dari pertemuannya dengan simpanan sugar daddy sampai dengan perkelahiannya di dalam TimeZone. Sedangkan Bumi, kalau tidak diam, ya hanya menanggapi singkat.
... ...
Senin. Hari yang Jeanna harap segera menghilang dari kalender. Hari dimana segala aktivitas yang tertunda harus kembali dilaksanakan. Rasa-rasanya, ia terlalu malas untuk pergi ke kampus dan mendengar ocehan dosen yang sama sekali tak dimengerti.
Terkadang, jika Jeanna bosan planga plongo di tangga gedung seperti orang bodoh, ia akan menyelinap masuk ke dalam kelas hukum, turut menyimak materi. Ajaibnya, sampai sekarang tak ada yang sadar bila namanya tidak tercantum di buku absensi.
Saat ia baru saja sampai pada anak tangga terakhir, matanya tak sengaja menangkap sosok Bumi yang melewati toko. Buru-buru ia berpamitan dengan nenek Mar, lalu mengejar pacar pura-puranya. Setidaknya, hari ini ia ingin mereka terlihat seperti 'pasangan sungguhan' yang pergi kuliah bersama.
"Bumi! Bumi! Hoi!"
Laki-laki itu hanya menoleh. Tidak berhenti, justru semakin mempercepat langkahnya. Memang pada dasarnya Bumi enggan berjalan bersama dengan Jeanna.
Jeanna tak bisa berlari karena orang-orang mulai memandangnya aneh. Apalagi, seantaro kampus ini mengenal si pemilik nama 'Bumi'. Yang dilakukannya hanya berjalan cepat, berharap bisa menyusul si laki-laki menyebalkan.
Ketika jarak mereka makin menipis, sialnya tali sepatu Jeanna lepas, hampir membuatnya mencium tanah. Dilihatnya Bumi yang memasuki gedung student center, kemudian iapun mulai berjongkok dan bergegas mengikat tali sepatu.
BRAK
Tangan Jeanna berhenti bergerak. Cairan merah kental menciprati pakaian serta sepatu putihnya, membuat titik-titik noda membandel. Genangan merah itu bergerak dan terus melebar, menggerayangi tapak sepatu Jeanna.
"Aaaa!"
Teriakan itu datang terlambat, dari orang-orang yang menyaksikan kejadian mengerikan, mereka yang berdiri di belakang Jeanna.
"Ada orang bunuh diri!"
"Cepat panggil ambulans."
"Beritahu staf kampus, segera!"Jeanna, yang bola matanya masih bergetar, memberanikan diri mendongakkan kepala. Di atas sana, dari jendela yang terbuka, beberapa kertas melayang dan jatuh ke bawah. Salah satu kertasnya berhenti tepat di atas mayat yang terbujur kaku. Kertas yang isinya adalah rancangan pin anak-anak pers.
"Bukannya itu anak hukum?"
"Eh, Nimas? Anak hukum semester tiga? Yang Bapaknya baru saja meninggal?"
"Duh, kasihan sekali. Pasti dia depresi karena ditinggal Bapaknya."
Jeanna berjalan mundur, wajahnya pucat. Masih terkejut dengan perempuan yang jatuh tepat di depan wajahnya. Cara meninggalnya mengingatkan dirinya dengan kematian tragis Ophelia, meski jelas ia tahu bila aktris cantik itu tak mati bunuh diri.
Hari itu, semua kegiatan kampus dibatalkan. Semua orang heboh akan kasus bunuh diri seorang mahasiswi Hukum semester tiga, Nimas Bratarini.
....
Oh ya, yang mau kasih dukungan biar aku makin semangat menulis, bisa kunjungi link ini:
https://saweria.co/vgirlsworld
Terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI HIJAU: Bumi Dhanurendra
Genç Kız EdebiyatıDI akhir 20-an, Jeanna Hope masih juga melajang. Merasa putus asa sekaligus bertekad memuaskan 'ledakan penasaran', dirinya pun memutuskan untuk membeli minuman populer itu, KEMBALI HIJAU. Saat itu, tujuannya hanya satu; mencari jodoh yang tak kunju...