"Akhir"
... ...Seminar Broadcasting Session yang mendatangkan Gendhis Kartika sebagai pembicara pun berakhir. Seluruh peserta keluar auditorium dengan wajah sumringah—penuh kepuasan. Totebag hitam berisi cenderamata—bolpoin alumunium, notebook, dan key chain—dipamerkan kepada teman-teman tak beruntung tanpa henti, membuat iri.
Hari ini, Gendhis Kartika menjadi topik hangat di Universitas Garuda. Tak ayal, suaminya, Brawijaya, yang merupakan dosen di sini ikut terbawa-bawa. Hampir semua mahasiswa sepakat bila mereka—Gendhis dan Brawijaya—adalah pasangan serasi. Lalu, sebagian orang mulai membicarakan betapa beruntungnya anak mereka.
Jeanna tidak menemukan keberadaan Bumi di sekitar auditorium seusai seminar. Sekilas, ia tertawa renyah dan merendahkan ekspektasi. Pemuda itu tentu tak akan datang, ini bukan hari ujian masuk atau acara kelulusan. Padahal, ia ingin menceritakan pengalamannya, berbicara tentang betapa hebat ibunya.
Disisi lain, ia mendapat teman baru, satu angkatan dengan Bumi, namanya Anggraeni. Mereka banyak berbincang selama time break seraya menikmati kudapan, salah satunya membahas sosok Guntur dan Parama. Dari banyaknya informasi yang Jeanna dapat, tampaknya Anggraeni tahu banyak tentang para begundal meresahkan itu.
"Aku yakin Nimas bunuh diri karena frustasi sebab laki-laki yang memerkosanya masih berkeliaraan bebas dan menebarkan senyum disana-sini."
Semua orang beranggapan bila Nimas bunuh diri. Tidak ada satupun yang mencurigai tindak pembunuhan kecuali Jeanna. Tapi, dari semua orang yang membicarakan kematian Nimas, hanya Anggraeni yang nampak berani.
"Kau mau jadi partner-ku? Ketika mendengarmu menghajar Parama waktu itu, aku tahu bila kita berdua akan cocok untuk kerja sama."
Dan begitulah mereka berdua menjadi teman yang satu tujuan. Bagi Jeanna yang kesulitan bekerja sendirian, menggandeng seorang 'rekan' adalah hal yang bagus.
... ...
Sebentar lagi ulang tahun Universitas dan Bumi benar-benar sibuk dibuatnya. Dari sekian banyak organisasi, BEM adalah yang paling sibuk. Selain itu, ia juga harus pergi survei lapangan untuk makrab anak-anak pers Sabtu ini. Untungnya, hanya UKM pers yang mengadakan malam keakraban dalam waktu dekat. Andai semua organisasi yang diikutinya kompak mengadakan acara di minggu-minggu ini, bisa-bisa Bumi mati berdiri.
"Gila! Baru kali ini seminar terasa menyenangkan untukku. Kudapan yang disiapkan juga lezat, dapat cenderamata pula!"
"Setelah dilihat secara langsung pun, Mbak Gendhis benar-benar bersinar seperti di televisi. Aku menyukai gaya bicaranya yang seperti seorang Ratu."
"Stasiun televisi ATV pasti senang memiliki orang berpengaruh seperti Mbak Gendhis. Rating berita malam mereka selalu merajai slot, loh."
"Eh, dengar-dengar Mbak Gendhis punya anak perempuan, ya? Siapa tadi namanya ... hmm Jeanna bukan?"
Nama yang sama. Bumi jadi teringat dengan Jeanna yang mungkin sudah meninggalkan auditorium dengan perasaan gembira.
Buru-buru ia melanjutkan perjalanan menuju sekretariat BEM yang berada di lantai paling atas student center. Dan di bangku yang sama, ia melihat sosok Jeanna.
Gadis itu tersenyum lebar dan melambaikan tangannya. Ia menghampiri Bumi dengan langkah yang lebar. "Kau sibuk?" tanyanya, mencuri pandang ke arah sekretariat BEM yang ricuh.
"Ya," jawabnya. Detik itu juga Jeanna mengendurkan senyuman dan menggaruk-garuk kepalanya. "Tapi, jika ada yang ingin dibicarakan, aku bisa memberimu waktu sepuluh sampai lima belas menit," sambungnya, dan senyum Jeanna kembali merekah.
Keduanya mengobrol di salah satu gazebo di sudut gedung student center. Sesuai tebakannya, Jeanna membicarakan betapa hebatnya sosok Gendhis selama seminar berlangsung. Menurut pengakuannya, seminar tadi terasa seperti acara bincang-bincang hangat dengan teman lama—kesannya. Gadis itu juga memamerkan cenderamata yang didapatnya.
"Aku benar-benar berterima kasih. Berkatmu aku bisa melihatnya lagi. Oh, hari ini aku sangat bahagia sampai jantungku rasanya akan meledak!"
Senyuman Jeanna mengunci mulut Bumi. Laki-laki itu sama sekali tak mengeluarkan sepatah katapun. Hanya mendengarkan sembari menatap yang tengah berbahagia.
"Kau sudah memikirkannya? Keinginanmu?"
Kesepakatan hari itu disinggung oleh Jeanna. Sebenarnya, Bumi tidak mengharapkan apapun. Ia hanya senang menggoda Jeanna, gadis yang akan melakukan apa saja demi keinginannya.
"Belum—"
"Tapi, aku bisa menebak keinginanmu." Jeanna mengulurkan tangannya. Meski senyumannya masih sama, binar matanya jauh berbeda. "Selamat! Mulai hari ini, kau bisa bebas dariku," lanjutnya.
Bumi refleks mengerutkan dahi, alisnya juga ikut bertaut. Entah kenapa, perkataan Jeanna barusan tak dapat otaknya cerna dengan baik.
Jeanna yang merasa diabaikan lekas menarik tangan Bumi, memaksa si lelaki untuk berjabat tangan dengannya. "Maksudku, hubungan pura-pura ini kita akhiri saja. Lagi pula, tidak ada untungnya juga untukmu, hanya merepotkanmu .... Kenapa menatapku seperti itu?"
"Tiba-tiba begini?"
"Tidak tiba-tiba. Aku sudah memikirkannya sejak malam kesepakatan itu. Aku tahu kau kesulitan karenaku, tapi yang kulakukan justru menutup mata. Jalan yang kuambil setelah ini akan sangat berbahaya, dan aku tak mau membawamu ikut bersamaku."
Bumi mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Sayang sekali. Padahal ada hal lain yang kuinginkan. Tapi, jika kau sudah mengambil keputusan seperti itu, mau bagaimana lagi?" Bagaimanapun, Bumi berusaha maksimal untuk tidak terlihat kecewa. Padahal, ia sangat menanti hari ini, hari dimana hubungan palsu mereka berakhir. Namun, begitu mendengarnya langsung, rasanya Bumi tidak bisa menerima.
"Kuharap, kedepannya kita tidak jadi canggung," turur Jeanna yang sebenarnya juga enggan melepaskan Bumi. Akan tetapi, ia tak ingin menyeret lelaki ini ke dalam lubang hitam yang mengancam, walau sampai sekarang ia tak tahu apa alasan Bumi menghilang.
"Kau tahu," Bumi beranjak dari duduknya, "rasanya seperti dicampakkan setelah dimanfaatkan. Kuharap kau dapat melanjutkan hidupmu dengan baik. Meskipun kita sedekat ini, kurasa ada banyak hal yang tak kuketahui tentangmu. Ada kalanya kau terlihat seperti bintang di langit juga ada kalanya kau seperti tanah."
"Intinya, aku ini aneh, ya?"
"Begitulah," jawab Bumi, lalu pergi meninggalkan Jeanna yang menatap kepergiannya dalam diam.
...
Oh ya, yang mau kasih dukungan biar aku makin semangat menulis, bisa kunjungi link ini:
https://saweria.co/vgirlsworld
Terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI HIJAU: Bumi Dhanurendra
ChickLitDI akhir 20-an, Jeanna Hope masih juga melajang. Merasa putus asa sekaligus bertekad memuaskan 'ledakan penasaran', dirinya pun memutuskan untuk membeli minuman populer itu, KEMBALI HIJAU. Saat itu, tujuannya hanya satu; mencari jodoh yang tak kunju...