Chapter 3

141 22 0
                                    

"RUANG TERLARANG"

"RUANG TERLARANG"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

... ...

Brawijaya tidak ada di rumah, itu artinya kepulangan Jeanna sia-sia belaka. Rasa penasaran yang menggebu itu memblokir pikirannya dan menyeretnya ke mari, rumah. Bodoh, mestinya ia tak terdistraksi dengan 'kegagalan kencan buta yang ke-47' tadi. Juga, kenapa sopir taksi tadi memberinya secercah harapan? Sekarang, Jeanna terlalu malas kembali ke studio TV untuk meliput jalannya acara penghargaan.

"Karena sudah di sini, lebih baik teruskan." Jeanna berbicara pada dirinya sendiri, secara tak langsung memberi motivasi demi menuntaskan rasa penasaran. Lekas diambilnya kunci cadangan ruang kerja sang ayah dan diam-diam masuk ke sana. Seumur hidup, ia belum pernah memasuki ruangan 3x3 meter ini. Dengan kata lain, ini adalah ruang terlarang untuknya.

Brawijaya itu seperti bunglon yang pandai berkamuflase. Saat berada di tengah-tengah suasana berduka, ia pandai memasang ekspresi sedih. Ketika semua orang bergembira, iapun turut bersuka cita. Akan tetapi, bunglon itu pandai berdusta. Jeanna menyadari itu ketika dirinya semakin beranjak dewasa. Bahwa ia sama sekali ... tidak mengenal ayahnya.

Ketika pintu terbuka, meja kerja yang terbuat dari kayu mahoni menyambutnya. Buku-buku tebal di atas meja tersusun rapi, namun lampu meja menyala. Brawijaya mencintai kerapian, kerap menyusun teratur barang-barangnya. Sayangnya, lelaki paruh baya itu ceroboh seperti anak perempuannya.

Di sudut dinding sebelah kanan banyak foto-foto terpajang. Sangat beragam. Mulai dari foto keluarga, kegiatan para dosen di Universitas Garuda, sampai dengan foto bersama para mahasiswa beralmamater hijau aqua.

"Almamater!"

Jeanna berjalan mendekat, menatap foto usang itu lekat-lekat. 18 September 2005, Ilmu Hukum angkatan 10. 15 tahun lalu, ayahnya masih dapat dikatakan muda. Dirinya juga masih berusia 12 tahun, baru memasuki fase remaja. Tiba-tiba, Jeanna jadi merasa sedih karena teringat ibu. Kebetulan sekali, ibunya juga meninggal di tahun yang sama dengan tahun foto ini di ambil.

Kesedihan yang melanda buru-buru ia tepis. Kini, bola matanya kembali menelisik wajah para mahasiswa yang ada di foto. Yah, meskipun bisa saja laki-laki dalam mimpinya bukanlah 'Anak Hukum'.

Tak banyak mahasiswi di dalam foto ini. Zaman dulu sangat sedikit perempuan yang bercita-cita untuk menegakkan keadilan. Berbeda dengan sekarang, dimana kebanyakan perempuan telah 'melek' akan kesetaraan gender.

Menyerah, Jeanna memutuskan untuk menyudahi kesia-siaan jilid dua ini. Secermat apapun dia mencari, laki-laki di dalam foto ini sangat banyak. Juga, wajah mereka terlalu kecil karena foto di ambil dari jarak yang lumayan jauh.

Sekarang, meja kerja Brawijaya lebih menarik perhatian. Dimatikannya lampu meja yang entah sejak kapan menyala. Lalu, dibukanya laci meja satu persatu. Satu yang ia cari, album foto. Siapa tahu alumni Universitas pernah memberi ayahnya kenang-kenangan berupa kumpulan foto.

Sayangnya, yang wanita itu temukan bukanlah album foto, melainkan potongan-potongan koran yang menyoroti kasus-kasus gelap. Salah satunya kasus kematian Gendhis Kartika, ibunya.

News Anchor Berinisal 'GK' Tewas Karena Kecelakaan Saat Perjalanan Dinasnya. Kebetulan Ataukah Kesengajaan?

Korban Kecelakaan Dengan Inisal 'GK' Diketahui Diam-Diam Mendukung Politik Sayap Kiri.

Ditemukan Keganjilan Dalam Tragedi Kecelakaan 14 November 2005.

Saat itu, Brawijaya hanya memberitahu Jeanna bahwa Gendhis terlibat dalam kecelakaan mobil di jalur Puncak. Ia mengira itu hanya kecelakaan biasa, mengingat jalanan yang curam dan sempit.

Selepas peristiwa itu, Brawijaya melarang Jeanna menonton televisi ataupun membaca koran harian. Ponsel yang baru didapatnya pun harus disita selama berbulan-bulan.

Jadi, apa ini alasan Brawijaya tak memperbolehkannya masuk ke dalam ruang kerja? Jika dipikir-pikir, kematian ibulah yang menjadi awal mula larangan tersebut. Sebelumnya, tak ada larangan lisan dari sang ayah, hanya Jeanna segan saja masuk ke dalam ruang kerja.

Lalu, di bagian paling bawah tumpukan potongan koran, ada satu kasus yang berbeda. Bukan berita kematian, melainkan laporan 'Orang Hilang'.

POLDA Metro Jaya Banjir Laporan. Orang Hilang Terus Bertambah.

"Orang hilang?"

Jeanna pernah membaca buku tentang kekejaman masa Orde Baru, di mana banyak aktivis muda diculik dan disiksa. Ada yang kembali, ada pula yang tidak.

Tetapi, bukankah Orde Baru telah berakhir di tahun 1998? Apa penculikan ini masih ada kaitannya dengan kasus kematian sang ibu? Apa orang-orang yang melakukan semua ini masih sama seperti yang di tahun 1998?

"Jeanna?"

Itu Brawijaya. Ayahnya berdiri tegak di depan pintu ruang kerja yang tak tertutup. Tangan kanannya menenteng kantong belanja yang terlihat penuh.

"O-oh, Ayah ...." Jeanna buru-buru meletakkan potongan koran kembali ke tempatnya. Meski sebenarnya ia yakin ayahnya telah melihat jelas perbuatannya.

"Sudah berkali-kali diingatkan. Jangan pernah memasuki ruang kerja ayah."

Anehnya, Brawijaya tidak marah. Lelaki itu melangkah masuk ke dalam dan menutup laci yang belum tertutup sepenuhnya. "Semestinya kau sudah paham apa yang hendak ayah sembunyikan. Semestinya kau juga sudah dapat menebak apa yang terjadi pada ibumu. Karena itu, sekarang, ayah memintamu untuk diam saja. Jangan pernah melakukan apapun."

Jeanna tahu, itu peringatan. Manusia yang tahu banyak hal itu ... berbahaya.

KEMBALI HIJAU: Bumi DhanurendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang