Chapter 14

106 18 20
                                    

"PHYSICAL DISTANCING"
... ...

Jeanna pertama kali jatuh cinta saat ia berusia empat belas tahun. Sebut saja ini merupakan dampak nyata dari sinetron-sinetron televisi yang setiap weekend selalu memanjakan imajinasinya. Meskipun pemeran utama wanita terus menerus berasal dari kalangan 'ekonomi bawah' yang tertindas, tapi dirinya tidak pernah berhenti berharap menjadi Cinderella.

Namun, semua laki-laki selalu melihatnya seperti Anastasia atau Drizella, kakak-kakak tiri yang setiap hari memperbudak Cinderella. Jeanna sama sekali tidak tahu cara menghapus stereotip 'Orang Kaya Selalu Jahat' dari pikiran mereka semua. Rasanya terlalu sulit memurnikan pikiran remaja penggila sinetron.

Lalu, Jeanna kembali jatuh cinta saat kelulusan SMA hanya tinggal menghitung bulan, kala usianya tujuh belas. Sayangnya, lagi-lagi ia harus menelan pil pahit sebab lelaki yang diincarnya menyukai perempuan lain. Cinta keduanya pun pergi tanpa sempat dikejar.

Bila dihitung-hitung, sudah lima kali hati Jeanna hancur berkeping-keping karena cinta yang tak berbalas, sebelum akhirnya ia menyerah terhadap 'takdir cinta'-nya yang buruk. Teman-temannya selalu bertanya mengapa sampai sekarang ia masih betah melajang padahal wajahnya lumayan cantik dan berasal dari keluarga terpandang. Jika tahu jawabannya, Jeanna tentu saja dengan senang hati menjelaskan. Masalahnya, ia juga belum menemukan jawaban, alasan tidak ada satupun lelaki yang mencintainya.

Ketika Jeanna melangkah masuk ke ruang 'HUKUM PERDATA I', bilik ramai yang tadi tidak sengaja ditunjuk, bangku-bangku di barisan depan sudah tidak ada lagi yang tersisa. Sungguh berbanding terbalik dengan pengalamannya sewaktu kuliah dulu, di mana hampir tak ada bangku di barisan belakang yang kosong. Hmm, nampaknya mahasiswa zaman dulu lebih ambis daripada pelajar-pelajar di masanya.

Beruntungnya, kali ini ia memang ingin duduk di barisan paling belakang dan paling ujung agar keberadaannya tidak terlalu mencolok dan menarik perhatian. Tidak salah lagi, kursi di dekat jendela paling cocok untuknya.

Diletakkannya tas serut KW super—sumber bencana—di atas meja, seakan tidak peduli andai semua orang melihat tas tiruan memalukan ini. Telapak tangannya dengan sigap menopang dagu. Sejurus kemudian, senyuman malu-malunya semakin lebar. Ah, usianya sudah dua puluh delapan, tetapi keberadaan Galuh yang keren berhasil mengembalikan nya menjadi remaja kasmaran. Tak lama kemudian, wajahnya mulai merah merona.

"Kau menerbitkannya, ya?"
"Menerbitkan apa?"
"Berita kemarin! Soal anak Pak Rektor."

Cicitan dua manusia yang berasal dari samping kanannya benar-benar mengganggu. Alhasil, wajah rupawan Galuh menghilang dari lamunannya. Sontak Jeanna menengok, mendapati dua pemuda yang nampaknya tengah membicarakan hal bersifat rahasia.

"Beritanya sekarang ada di koran kampus dan sudah menyebar! Mungkin saat ini sudah sampai di tangan Pak Rektor!"

Tetapi, semakin diperhatikan wajah laki-laki yang duduk paling dekat dengannya nampak familiar. "Siapa, ya?" Jeanna bertanya-tanya seraya matanya kian menyipit.

"Kau serius?"
"Untuk apa aku berbohong, Bumi?"

Bumi ... Bumi ... Ah! Jeanna ingat sekarang. Tidak, bagaimana bisa ia melupakan nama pemuda yang hampir mempertemukannya dengan malaikat maut?

"Bagaimana bisa aku melakukannya? Jelas-jelas sore itu kita pulang bersama."
"Lalu ... siapa?"

Jeanna spontan beranjak, kedua tangannya sengaja meletakkan tangan di pinggang. Wajah yang tadinya berseri pun berubah masam.

"Oh, si maniak permen karet yang membuatku celaka!"

Dua laki-laki itu menolehkan kepala, menelisik wajah asing yang jarang terlihat. Tidak ada kelas gabungan, jadi ... siapa perempuan sok kenal ini?

KEMBALI HIJAU: Bumi DhanurendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang