Kejutan
... ...Parama datang ke rumah duka tanpa rasa bersalah dan itu terpatri amat jelas di wajah belagu-nya. Alih-alih menunjukkan kesedihan, lelaki sinting itu justru tersenyum nakal ke arah Jeanna yang berdiri di hadapannya. Sangat berbanding terbalik dengan tiga temannya, terutama Guntur, yang terang-terangan berduka. Gelagat tak biasa Parama semakin memperkuat dugaan, bahwa laki-laki inilah pembunuh sebenarnya.
"Sepulang dari sini, kau mau pergi minum denganku?"
Meski sudah tahu perempuan di depannya ini tak lagi single, sikap Parama tetap saja tidak berubah. Selagi memiliki kesempatan, ia akan terus menggoda. Pantang berhenti sebelum Jeanna berhasil ia genggam.
Jeanna menatap Parama lekat-lekat. Ada percikan api yang tak terlihat di bola matanya. Kedua tangannya juga mengepal keras, menandakan emosi yang tengah meletup-letup. Rasanya, ingin sekali ia kembali ke masa depan dan secepatnya meringkus lelaki tak tahu malu ini.
"Aku akan pergi minum denganmu. Tapi tidak hari ini. Bagaimana kalau besok?"
Parama menelengkan kepalanya, masih tersenyum seperti orang gila. "Boleh juga," katanya. "Kalau begitu akan menunggumu di pelataran parkir fakultas hukum—"
"Tidak perlu," potong Jeanna. "Aku akan pergi sendiri. Beritahu saja nama diskotek-nya."
Laki-laki itu tertawa cekikikan. "Kenapa tidak mau pergi bersama? Jika kuberi tumpangan, kau tak perlu mengeluarkan ongkos. Ah, apa kau takut diapa-apakan olehku? Hahaha." Parama mendekatkan bibirnya ke telinga Jeanna, lalu berbisik. "Tidak perlu takut. Kau tak semenarik itu di mataku."
Sementara Jeanna dan Parama sibuk menabuh genderang perang di pintu masuk, Bumi, Hestama, dan Cayapata justru tak henti-hentinya memperhatikan Guntur yang kini telah duduk bersila tak jauh dari mereka: rombongan anak pers.
"Saya turut berduka cita atas kepergian Nimas, Bu." Ada getaran dalam suaranya. Mereka yang melihat—yang tak tahu apapun—pasti mengira bila Guntur benar-benar terpukul atas kematian Nimas. Dalam sekejap, kemarahan mereka atas kabar bahwa Guntur adalah pelaku pelecehan seksual berangsur-angsur reda. Namun, tidak untuk tiga lelaki yang mengetahui korban pelecehan si anak rektor.
Ada rasa tidak nyaman di hati Bumi, Hestama, dan Cayapata. Disaat Guntur menengok ke arah mereka dan tersenyum ramah, secara bersamaan bulu kuduk mereka diam-diam berdiri. Menurut mereka, Guntur jauh lebih mengerikan daripada Parama; si gila nomor dua.
... ...
"Kau mau pergi ke mana?"
Bumi menarik tas serut yang Jeanna kenakan hingga perempuan itu sama sekali tak bisa berjalan maju, memasuki bus yang pintunya baru saja terbuka.
"Itu bukan bus yang akan membawamu pulang."
"Siapa juga yang mau pulang?" cicit Jeanna seraya mencoba menarik diri dari cengkraman Bumi. "Aku ingin pergi ke rumah sakit, tujuan utamaku sejak pagi tadi."
"Ah, benar. Adik Galuh sedang dirawat di rumah sakit." Hestama yang sedari tadi diam pun ikut menimpali. "Kau mau pergi menjenguknya? Malam-malam begini?" sambungnya.
Jeanna mengangguk setelah berhasil kabur dari jerat Bumi. "Memangnya kenapa? Ini baru jam tujuh," tuturnya setelah mengingat-ngingat pukul berapa mereka pergi meninggalkan rumah duka.
"Apa kau tidak tahu? Akhir-akhir ini banyak terjadi kasus pencurian dan pemerkosaan. Karenanya, tidak banyak perempuan yang berkeliaraan sendirian di malam hari."
Akan tetapi, Hestama salah sasaran. Jeanna tidak sepenakut itu selama ia belum mengalaminya sendiri.
"Lalu, memangnya kenapa?"
Setelah mengutarakan kebingungannya, Jeanna lekas berlari dan masuk ke dalam bus yang akan membawanya ke rumah sakit tempat Galuh berada.
"Ada gila-gilanya juga ya kekasihmu, Bum. Tidak ada takut-takutnya— Hoi, Bum! Tunggu aku!"
Pada akhirnya mereka berdua ikut menaiki bus yang sama dengan Jeanna. Ketika si gadis bertanya mengapa keduanya turut menaiki bus yang sama dengannya, Bumi hanya diam—pura-pura tak mendengar—sedangkan Hestama berkata jika ia tak sudi jadi korban perampokan.
Jeanna yang duduk di depan Bumi dan Hestama menyembulkan kepalanya, membuat dua lelaki yang tengah mengobrol di belakangnya sedikit terkejut akibat kemunculan yang tiba-tiba.
"Haruskah kita mampir ke toko buah dahulu?" tanyanya, sebab baru ingat bila sekarang mereka tak membawa satupun buah tangan.
"Terserah."
Sahutan ketus Bumi langsung disambut dengusan oleh Jeanna. Rasanya menyebalkan ketika ditanya namun yang didapat hanya jawaban 'terserah'.
"Apa di dekat rumah sakit ada toko buah?"
"Tidak tahu."
Lagi-lagi Bumi yang menyahut meski Jeanna menginginkan jawaban dari mulut Hestama.
"Aku tidak bertanya padamu," celetuk Jeanna seraya melayangkan tatapan sinis ke arah Bumi. Nampaknya, kekesalannya terhadap Parama masih belum reda dan berdampak pada suasana hatinya.
Jeanna kembali mengalihkan tatapannya kepada Hestama. Namun, laki-laki itu juga memberikan jawaban yang sama dengan Bumi: tidak tahu.
Pada akhirnya Jeanna menyerah dan tak membuka obrolan lagi dengan dua lelaki yang menjawab bak wanita; terserah-tidak tahu.
...
Chapter kali ini sedikit pendek dulu, ya. Soalnya masih ngerasa kalau tulisanku jelek 😭😭
... ...
Oh ya, yang mau kasih dukungan biar aku makin semangat menulis, bisa kunjungi link ini:
https://saweria.co/vgirlsworld
Terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI HIJAU: Bumi Dhanurendra
ChickLitDI akhir 20-an, Jeanna Hope masih juga melajang. Merasa putus asa sekaligus bertekad memuaskan 'ledakan penasaran', dirinya pun memutuskan untuk membeli minuman populer itu, KEMBALI HIJAU. Saat itu, tujuannya hanya satu; mencari jodoh yang tak kunju...