Chapter 15

91 16 3
                                    

"PENTAS SI DALANG"
... ...

Kondisi Rektorat saat ini tidak jauh berbeda dengan 16 gedung fakultas yang tersebar di atas tanah seluas 700 hektare.  Para staf menelantarkan tumpukan pekerjaan dan mulai serius bergunjing. Halaman depan koran kampus Mingguan Garuda memajang foto Guntur Pamungkas, anak dari seorang Rektor yang dihormati.

"Sebetulnya aku sudah punya firasat, kalau anak Pak Rektor ini kelakuannya tidak jauh berbeda dengan para berandalan. Dia bisa selamat karena jabatan tinggi Bapaknya."

"Ssstt ... bicaramu jangan terlalu kencang. Di gedung ini, dinding pun punya mata dan telinga."

"Dua tahun yang lalu dia pernah terlibat kasus kekerasan, 'kan? Ituloh ... korbannya mahasiswa beasiswa."

"Dia juga pernah masuk kantor polisi karena kebut-kebutan di jalan raya, 'kan? Ugh, amit-amit ...."

"Kalau bukan anak Rektor, Kampus pasti sudah mengeluarkannya dari dulu. Dengar-dengar, semua temannya itu anak-anak nakal."

"Duh, semoga berita ini tidak tercium media massa. Bisa hancur reputasi Universitas."

Saat kopi hangat di dalam cangkir habis, semua staf lekas membubarkan diri. Juga, mereka tak bisa berlama-lama berbicara, takut ada mata-mata yang memantau. Jika ketahuan, resiko terbesar tentu saja dipecat. Apalagi nama 'Guntur' adalah nama yang tabu disebutkan di lingkungan Rektorat.


... ...


Sekretariat HIMA Ilmu Hukum berada di lantai dasar Gedung Hukum I. Ketika Bumi dan Hestama tiba, ruang sempit ini sudah dibanjiri para anggota. Suasanya tak lebih kacau dari ruang kelas, justru lebih parah. Para perempuan yang tidak menyukai Guntur tanpa takut melontarkan cela.

"Semuanya, tenang. Izinkan aku berbicara." Selaku Ketua HIMA, Galuh berusaha menenangkan para anggotanya. Lelaki itu berdiri gagah di bagian depan ruangan.

"Bagi anak-anak pers, silahkan angkat tangan."

7 dari 36 mengangkat tangan, termasuk Bumi dan Hestama. Galuh pun melakukan hal serupa, mengakui diri paling pertama. Sebenarnya, banyak yang tahu ragam UKM yang diikuti oleh sang ketua HIMA, salah satunya pers.

"6 dari 7, di antara kalian ada yang tahu siapa pelakunya?" tanya Galuh, diperhatikannya wajah-wajah familiar dalam ingatan. Namun, setelah hampir satu menit semuanya mengeluarkan jawaban kurang memuaskan. Sebagian menggeleng, sebagian berkata 'tidak tahu', dan sebagiannya lagi hanya diam.

"Tidak bisakah kita menyebarkan kabar ini ke media massa? Ini santapan besar bagi para reporter. Tunggu, jangan bilang karena dia anak Pak Rektor yang disegani kalian berniat untuk menutup-nutupinya."

Itu Anggraeni, perempuan di tahun pertama berkuliah kerap digoda oleh Guntur dan kawanannya. Ia paling bersemangat dalam membongkar keburukan si berandalan kampus, mulai dari kasus kekerasan dua tahun lalu sampai yang terbaru. Tetapi, dirinya merasa tak ada satupun yang satu suara dengannya.

Semuanya terdiam, termasuk Galuh yang tidak tahu harus berkata apa. Memang benar, semestinya sekarang mereka beramai-ramai pergi rektorat, melakukan demo agar kasus ini ditindak lanjuti secara adil (tentu saja 'unjuk rasa' harus dibawah perintah BEM).

Tetapi, power Guntur bukan main-main. Anggota organisasi yang kebanyakan adalah 'anak beasiswa' tidak berani melakukan aksi. Semuanya takut beasiswa mereka dicabut yang berakhir dengan terbengkalainya studi.

"Sekarang, tugas kita adalah menarik koran kampus yang terbesar di seluruh penjuru fakultas."

"Gila! Kalian semua mau menutupi kejahatan?"
"Bukan begitu—"
"Alah, kalian semua kacung-kacungnya Guntur! Kau juga sama, Galuh. Sebenarnya, di mana kekuatanmu sebagai seorang Ketua?"

Anggraeni meninggalkan Sekretariat dengan perasaan dongkol. Ketika ia hendak keluar, Eliska Talia, si gadis sombong yang hobi flexing barang-barang branded, baru saja tiba dengan wajah tak pedulinya.

"Ada apa? Apa aku melewatkan sesuatu yang seru lagi?" Raut tak berdosanya benar-benar terlihat menyebalkan.

... ...

Hari ini Bumi cukup kerepotan karena harus bolak-balik 3 macam Sekretariat, BEM, HIMA, dan pers. Hestama yang selalu berada di sisinya tak mengizikannya untuk mengaku, bahwa berita tentang Guntur ditulis oleh dirinya.

"Pura-pura tidak tahu saja. Demi kehidupan kampus yang tenang sampai lulus."

Meskipun bukan ia yang menerbitkan—yah, walaupun hampir terbit jika bukan karena Hestama—semua orang pasti akan menuduhnya. Ia tidak ingin temannya ini mengalami nasib buruk karena telah menyeret nama Guntur.

Namun, pada akhirnya Bumi mengakui perbuatannya—bila ialah yang menulis berita—ketika tengah berbicara empat mata dengan Ketua pers mahasiswa.

Cayapata, yang satu angkatan dengannya baru dua minggu menjabat sebagai Ketua pers, menghembuskan napas panjangnya.

"Lalu, kau juga yang menerbitkannya?"
"Bukan. Hestama adalah saksi bahwa aku tidak mungkin melakukannya."

Bumi terdiam, lalu ingat akan kehadiran Parama sore itu.

"Ah, satu lagi, Kak Parama. Dia juga melihatku meninggalkan sekretariat."

Tiba-tiba Bumi jadi berpikir, apa jangan-jangan Parama yang menerbitkannya? Lelaki itu adalah orang terakhir yang berada di ruang sekretariat.

"Pak Rektor itu sangat menyayangi anaknya, Kak Guntur. Ah, sebentar lagi Pak Brawijaya pasti datang untuk memberikan kabar buruk."

Benar. Karena berita ini diterbitkan oleh koran kampus, pasti sebentar lagi Pak Brawijaya selaku pembina datang dengan kabar buruk. Yah, mungkin untuk sementara UKM ini tidak diizinkan beraktivitas.

"Ini semua salahku. Jika aku tak menulisnya—"
"Tidak, kau sudah benar. Hanya saja kita tak bisa menang."

KEMBALI HIJAU: Bumi DhanurendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang