Chapter 11

113 19 4
                                    

"KEHIDUPAN BARU, KEHIDUPAN PALSU"

Note: Chapter ini lebih pendek dari biasanya karena penulis sibuk 😅

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Note: Chapter ini lebih pendek dari biasanya karena penulis sibuk 😅

... ...

Bumi Dhanurendra pikir dirinya akan melewatkan kelas 'Sistem Peradilan Perdata' karena Pak Setiyo, si dosen pengampu, tak menyukai mahasiswa yang tidak datang tepat waktu. Beruntungnya, dosen killer berwajah garang tersebut dikabarkan tak bisa hadir karena harus menghadiri seminar.

"Haah, jancok. Sudah jauh-jauh kemari, tapi yang ngajar malah tidak hadir. Tahu begini lebih baik tidur di kosan."

Laki-laki berkacamata kotak di sebelah Bumi tak putus mengeluh seraya memasukkan buku cetak pinjaman ke dalam tas serut hitam polosnya. Namanya Hestama, jauh-jauh datang dari Solo ke Jakarta demi membanggakan orang tua di kampung. Pemuda yang mudah 'malas' ini tak pernah memiliki niat mengikuti kelas pagi. Bisa dimaklumi, di luar sana banyak orang yang benci 'masuk pagi'. Tama hanya salah satu dari mereka.

"Kita ke kantin sajalah, Bum. Perutku lapar, tidak sempat makan pagi."
"Aku sudah makan di rumah."
"Ya temani aku saja. Aku traktir es gula batu, deh."
"Kau saja yang ke kantin. Aku tunggu di ruang HIMA saja, sekalian mau siapin kotak sumbangan. Katanya, ada orang tua adik tingkat yang meninggal."
"Dasar tidak setia kawan."

Hestama benar-benar pergi ke kantin tanpa Bumi. Laki-laki itu sepertinya memang kelaparan karena kakinya melangkah begitu lebar. Satu persatu mulai meninggalkan ruang kelas 'HUKUM PIDANA II" hingga yang tersisa hanya Bumi seorang diri.

Hari ini hanya ada dua mata kuliah yang diajarkan, Sistem Peradilan Perdata di pagi hari dan Hukum Humaniter di siang hari. Jaraknya cukup jauh, wajar tak ada siapapun yang sudi menghuni kelas.

Pagi tadi, dalam perjalanannya menuju ruang kelas, Bumi tidak sengaja berpapasan dengan Galuh Kawiswara, ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Hukum. Laki-laki itu memberi kabar duka mengenai berpulangnya orang tua dari salah satu adik tingkat. Alasan yang membuat Bumi mengkhianati Hestama.

Dalam perjalanannya menuju ruang HIMA, Bumi tidak sengaja berpapasan dengan Parama Zalman, seniornya—satu tingkat di atas—yang dikenal urak-urakan. Selain itu, lelaki ini juga satu UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) dengannya, yakni pers mahasiswa.

"Hei, what's up, Bro!"

Parama yang tengah berjalan bersama dua temannya tiba-tiba menyapa. Seringaiannya lebar, matanya merah, cara berjalannya aneh—macam boneka udara. Dengar-dengar, ayahnya CEO di salah satu perusahaan kontraktor terbesar di Indonesia.

"Pagi, Kak."

Bumi membalas sapaan dengan sopan. Sebisa mungkin tidak cari masalah dengan senior 'pembuat ulah' yang kerap menerima teguran. Lelaki ini bahkan menjadi bagian dari UKM pers mahasiswa hanya karena iseng. Entah apa pikiran Ketua UKM sampai mau menerima beban seperti Parama.

Beruntungnya, pertemuan tadi tak lebih dari sekedar saling menyapa. Pasti akan menyebalkan jika harus mendengar ocehan tak bermutunya tentang wanita-wanita 'pintar'.


... ...

Toko Kelontong milik nenek Mar tidak sebesar supermarket, hanya seluas 5x10 dan dua lantai. Ada dua kamar tidur sempit di lantai atas ruko. Namun, kamar yang akan Jeanna tempati harus dibersihkan lebih dulu karena sempat dialihfungsikan sebagai gudang.

"Tidak usah khawatir. Kamar ini akan layak huni jika sudah dibersihkan." Nenek Mar terkekeh pelan, kemudian buru-buru mengambil sapu ijuk yang tersimpan di dekat tangga kayu.

"Sana mandi. Kamar mandinya di sebelah sana." Perempuan renta itu menunjuk pintu plastik biru dengan banyak tampalan. "Tapi, keran airnya agak susah diputar," lanjutnya sebelum masuk ke dalam gudang—yang sebentar lagi akan jadi kamar.

"Oh, biar aku saja yang membersihkannya."
"Tidak perlu. Biar aku saja. Lagi pula, sudah kukatakan, kamar ini tidak terlalu kotor. Kau mandi saja."

Jeanna membelai tengkuknya, merasa tidak enak hati. Dia hanya menumpang, tapi diperlakukan dengan sebaik ini, bagai cucu sendiri.

"Ah, benar. Kau tidak punya baju ganti, kan?"

Jeanna tidak kepikiran sampai situ. Yang ia renungkan dari tadi hanyalah perasaan 'tidak tega'. Nenek Mar meninggalkan sapu dan masuk ke dalam kamarnya. Sekitar tiga menit kemudian, nenek renta itu keluar dengan sehelai baju kuno merah muda dalam genggaman.

"Kau bisa pakai ini dulu. Ini baju kesayanganku waktu masih muda, hehe. Setelah ini, kita pergi ke pasar untuk beli pakaian dan keperluan kuliah."

Kuliah ... Jeanna hampir melupakannya. Ia jelas tidak bisa menjadi mahasiswa di Universitas Garuda. Di tahun 2005, ia tak lebih dari alien yang tersesat. Kepalanya hampir pecah saat memikirkan langkah selanjutnya. Haruskah ia berpura-pura pergi?

KEMBALI HIJAU: Bumi DhanurendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang