"Anak-Anak Pers"
(Bagian Dua)
... ...Berasal dari keluarga kurang mampu, Nimas Bratarini yang selalu minder terdesak dan berujung menjadi bagian dari Mahasiswa Kura-Kura (Kuliah Rapat - Kuliah Rapat). Wajahnya ayu meski tanpa make-up, surainya hitam legam bak arang, dan kulit kuning langsat-nya disukai kilau mentari; bersinar. Orang-orang memanggilnya Ndoro Putri walau ia bukanlah anak juragan. Karena kau pintar dan cantik, kata mereka apabila diminta beralasan.
Ia gagal menjadi bagian HIMA karena melewatkan kegiatan LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan) yang menjadi syarat wajib. Saat itu, perekonomian keluarganya benar-benar amburadul, dan Sabtu-Minggu tak jadi hari merdeka bagi fisik dan jiwanya. Ia bekerja serabutan di pasar, membantu tanpa upah pasti, demi sekantung beras.
Tangan kanan Nimas sungguh berbakat, dalam artian ia begitu pandai menaklukkan kuas; melukis. Beberapa kali mengikuti lomba lukis dan desain, dan selalu membawa pulang sertifikat kejuaraan. Sang gadis jelita amat mengagumi pelukis maestro BASUKI ABDULLAH, tak muluk-muluk ingin jadi seperti beliau. Sayangnya, impian itu terhalang restu orang tua.
"Nimas, kita ini orang miskin yang ditakdirkan untuk tak besar lagak. Kuliah saja yang benar, lalu jadilah PNS. Kau mau makan apa kalau jadi pelukis?"
Orang-orang yang bergelut di bidang seni selalu dipertanyakan kesuksesannya. Tak diakui karena jarang ada yang memiliki penghasilan tetap. Tidak ada satupun rakyat jelata yang mengizinkan anak mereka menjemput mimpi tersebut.
"Aku akan melakukannya." Kata Nimas di suatu hari yang cerah—satu bulan sebelum dilecehkan anak rektor; dua minggu sebelum kematian sang ayah. Begitulah anak-anak pers memberikan kepercayaan pada Nimas untuk merancang pin UKM mereka.
"Aku sih tidak mempermasalahkan bunuh diri-nya, terlepas perbuatan itu adalah dosa besar bagi semua agama. Tetapi, kenapa dia harus lompat dari sekretariat pers?"
Jeanna yang baru saja selesai membersihkan diri di kamar mandi luar menjadi berang, namun sebisa mungkin tak memulai perang. Matanya hanya menyoroti sinis si empunya suara. Maksudnya, seseorang baru saja mati.
"Sekarang, semua orang bertanya-tanya perihal alasannya. Bahkan, ada yang terang-terangan menuduh anak-anak pers merundungnya karena dia anak pemulung."
"Karena dia juga sekretariat pers tak bisa digunakan sementara, dan kita semua harus rapat di gedung fakultas Ilmu Hukum. Memang dekat dengan gerbang utama, tetapi jauh dari gedung fakultasku."
"Tidak hidup, tidak mati ... sama-sama menyusahkan."
"Jangan bicara begitu." Jeanna berdecak kesal. "Memangnya kalian yang bergunjing ini mau digentayangi arwah Nimas?"
Candaan sarkas Jeanna pun langsung ditanggapi oleh Cayapata selaku ketua. "Benar. Tidak baik menggunjing orang yang telah tiada. Sebaiknya kita berdo'a agar Nimas ditempatkan disisi terbaik Tuhan."
"Ck, orang yang mati bunuh diri mana bisa masuk surga? Paling jadi kayu bakar para pendosa di Neraka."
"Ya, dan kau salah satu yang akan terpanggang olehnya." Nada bicara Jeanna benar-benar terdengar seperti orang yang mengajak perang.
"Apa katamu?"
Jeanna mendelikkan bahunya dan membuang pandang. "Apa yang baru saja kukatakan, ya ...." gumamnya kecil, pura-pura bodoh.
Tepat setelah itu, mulut Jeanna dibekap dari arah belakang oleh seseorang beraroma kayu cendana, bau maskulin yang familiar bagi hidungnya. Bahkan kepalanya sampai terantuk di dada bidang si pemilik tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI HIJAU: Bumi Dhanurendra
ChickLitDI akhir 20-an, Jeanna Hope masih juga melajang. Merasa putus asa sekaligus bertekad memuaskan 'ledakan penasaran', dirinya pun memutuskan untuk membeli minuman populer itu, KEMBALI HIJAU. Saat itu, tujuannya hanya satu; mencari jodoh yang tak kunju...