"Anak-Anak Pers"
... ...Kematian Nimas Bratarini bak reka ulang kasus tewasnya Ophelia Aneisha di masa depan. Letak perbedaan keduanya hanya satu, yakni genangan darah. Banyaknya cairan merah kental yang melimbur dan terciprat dapat menjadi bukti bunuh diri. Berbeda dengan kasus kepergian Ophelia yang terasa janggal hingga tak masuk akal.
Tangan gemetar Jeanna dengan lancangnya memungut selembar kertas penuh goresan pensil yang jatuh tepat di atas tubuh kaku Nimas. Dicermatinya sketsa pin itu baik-baik, dan tak butuh waktu lama baginya untuk mengenali desain pin yang ia lihat di malam kematian Ophelia.
Jeanna mendongakkan kepalanya sekali lagi. Tak ada apapun di atas sana, hanya tirai putih yang menari-nari tersibak angin. Kertas penuh percikan darah ia remas kuat, rasa ingin menangkap pembunuh pun mencuat. Apabila Parama ada di atas sana, dapat disimpulkan bila laki-laki sinting itulah pembunuhnya— baik Nimas maupun Ophelia.
Andai ia bisa menjebloskan Parama ke balik jeruji, akankah Ophelia dapat menghindari kematian tragisnya?
"Hei, jangan sentuh itu! Kau hanya mengotori barang bukti."
Salah satu anak hukum yang kebetulan menyaksikan kematian Nimas memperingati Jeanna. Kelancangan seperti ini hanya akan mempersulit pekerjaan penyidik. Apalagi setelah melihat struktur kertas yang tak lagi halus. Namun, yang diperingati justru semakin menguatkan cengkraman.
Tiba-tiba, seseorang mencekal pergelangan tangannya dan mengangkatnya setinggi dada dan berkata, "Kemarikan kertasnya. Kau hanya akan menghancurkan barang bukti." Laki-laki itu, Bumi, memintanya baik-baik.
Tatapan kosong Jeanna berangsur-angsur hidup, namun sarat akan kebencian juga ketakutan. "Jangan khawatir, aku tidak akan merusaknya," ujarnya, meski fakta di lapangan tak seperti perkataannya.
"Sampai polisi tiba, aku akan menyimpan kertas ini." Jeanna menarik tangannya, menyembunyikan kertas pembangkit emosi di balik punggung.
"Kau hanya akan menghambat kerja para polisi—"
"Kau itu tidak tahu apapun!"Jeanna berteriak tepat di depan wajah Bumi. Napasnya tersenggal, matanya juga memerah.
"Aku akan pergi menangkap pelakunya." Sayangnya, Bumi tak membiarkan Jeanna pergi. Dengan kondisi tak stabil seperti sekarang, ditambah tapak sepatu yang penuh darah, Jeanna hanya akan mempersulit investigasi penyidik.
"Jika aku menangkapnya, gadis malang itu tidak akan mati. Kau juga ... kau juga tidak akan menghilang! Jadi, tolong jangan menahanku!"
"Kau ini bicara apa?"
Dicengkram lengannya begitu si gadis hendak melarikan diri, berkali-kali sampai akhirnya lelah sendiri. Sedangkan semua orang yang tak bisa lari dari TKP (Tempat Kejadian Perkara) hanya menyaksikan percakapan aneh dua sejoli di depan mayat Nimas.
"Bumi, lepaskan!"
"Hei, tenangkan dirimu—"
"Kau tidak tahu apapun, Bumi! Jadi, jangan menghalangiku.""Kau yang tidak tahu apapun!" Suarnya meninggi, tak kalah keras dari si gadis. Kemudian, Bumi lekas menangkup wajah Jeanna, mencongaknya hingga pandangan mereka bersirobok. "Kau anak hukum! Meski materi yang masuk belum terlalu berat, setidaknya kau harus tahu bila semua hal memiliki prosedur!"
"Demi kenyamanan bersama, tetaplah di sini dan jangan kemana-mana sampai polisi tiba."
"Ta-tapi, jika aku tidak menangkapnya sekarang, k-kau akan menghilang. Bila kau tidak ada, bagaimana nasib keponakanmu?"
Ophelia akan mati, Bumi.
Bumi lantas menarik Jeanna ke dalam pelukannya. "Aku tidak akan pergi kemana-mana," tenangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI HIJAU: Bumi Dhanurendra
ChickLitDI akhir 20-an, Jeanna Hope masih juga melajang. Merasa putus asa sekaligus bertekad memuaskan 'ledakan penasaran', dirinya pun memutuskan untuk membeli minuman populer itu, KEMBALI HIJAU. Saat itu, tujuannya hanya satu; mencari jodoh yang tak kunju...