"SOGOKAN"
... ...Sneakers abu-abu pudar mengetuk-ngetuk aspal hitam. Meski begitu, tak ada sedikit pun bunyi yang keluar. Sesekali lehernya memanjang dan matanya turut menyipit, mencari-cari seseorang. Tangan kanannya menggenggam bungkusan permen karet warna merah muda.
Tak ada arloji yang melingkari pergelangan tangan. Jadi, hanya bisa menebak-nebak pukul berapa saat ini. Melihat mahasiswa yang berdatangan tanpa jeda, dapat ditebak bila sebentar lagi kelas pagi akan dimulai.
Ckitt
Mobil SUV silver berhenti tidak jauh dari gerbang utama Universitas, tempat taksi atau angkot biasanya menurunkan penumpang. Dari kejauhan pun Jeanna bisa menebak gerangan yang baru saja keluar dari dalam sana, bak tuan putri yang baru turun dari kereta kuda kerajaan.
"Ck, sialan—"
Jeanna sengaja membalikkan tubuhnya, membelakangi perempuan berlagak angkuh yang semakin berjalan mendekat. Ingat, ia menghindar bukan karena takut, tetapi sedang malas adu mulut. Jika suasana hatinya hancur, pertemuannya dengan Bumi tidak akan lancar.
Benar saja, perempuan itu hanya melewatinya, tidak mengenali pemilik tas serut KW super. Jeanna menghembuskan napas lega dan kembali ke posisi semula. Tepat saat itu, dari kejauhan ia melihat sosok Bumi. Kali ini tidak berjalan kaki, melainkan mengendarai sepeda.
"Bumi! Bumi!"
Jeanna melompat-lompat, melambaikan tangannya sambil memanggil Bumi kuat-kuat. Senyumnya yang paling ramah terpampang nyata, hanya karena ingin berdamai demi kehidupan tenang. Tetapi, sepeda itu sama sekali tidak berhenti, melewatinya bagai tak ada siapapun di sana.
Senyumnya menghilang seketika, raut wajahnya kembali ke setelan pabrik—masam.
"Dia bahkan tidak melirikku? Ah, dasar bajingan," umpatnya. Bola matanya berputar jemu sesaat sebelum akhirnya ia memutuskan untuk berlari mengejar sepeda.
Napasnya terengah, tubuhnya spontan membukuk selama paru-parunya menghirup udara dengan rakus. Gedung dihadapannya bukan fakultas hukum, melainkan student center tempat sekretariat-sekretariat UKM berada.
"Umur memang tidak bisa berbohong," gumamnya, dengan gaya bernapas yang masih seperti ikan, berjalan masuk ke dalam gedung yang tidak dipenuhi mahasiswa saat pagi hari.
Jeanna telah melewati banyak pintu, mulai dari UKM pecinta alam sampai UKM seni rupa. Tentu ia selalu mengintip dari kaca kecil di pintu kayu, tetapi tak ada Bumi di dalamnya. Sampai akhirnya, langkahnya terpaku setelah mengintai sekretariat UKM pers.
Di dalam sana, ia tak hanya melihat Bumi, tetapi juga menemukan sosok ayahnya yang masih cukup muda. Keduanya tengah asyik mengobrol, terlihat akrab. Brawijaya juga beberapa kali menepuk-nepuk pundak Bumi.
"Ada keperluan apa?"
Jeanna tersentak, refleks berbalik badan dan mendapati sosok Galuh di belakangnya. Laki-laki itu sempat melirik ke dalam sekretariat sebentar, kemudian balik bertatapan lawan bicara.
"Oh, tidak. Hanya sedang melihat-lihat. Sebenarnya, aku agak kesulitan dalam memilih UKM, semuanya terlalu menarik."
Dahulu, Jeanna sebenarnya tidak tertarik mengikuti UKM manapun. Baginya, semua kegiatan di luar jam kuliah itu merepotkan. Karena itu, rutinitas hariannya hanyalah 'kuliah-pulang'. Ia menghabiskan waktu dengan belajar hal-hal tentang news anchor.
"Kalau begitu, masuk UKM pers saja. Kau bisa banyak belajar di sini. Anak-anaknya juga ramah dan kau tidak akan dipelonco," jelas Galuh semangat.

KAMU SEDANG MEMBACA
KEMBALI HIJAU: Bumi Dhanurendra
ChickLitDI akhir 20-an, Jeanna Hope masih juga melajang. Merasa putus asa sekaligus bertekad memuaskan 'ledakan penasaran', dirinya pun memutuskan untuk membeli minuman populer itu, KEMBALI HIJAU. Saat itu, tujuannya hanya satu; mencari jodoh yang tak kunju...