Hai aku kembali lagi.
Sorry jadwal up nya amburadul banget ygy.
Jan pada kabur, stay disini ya miskah.Happy reading...
______
Setelah Anzar pergi, Anzel masih merenungi kata -kata boombastic yang Anzar lemparkan. Bingung dan bertanya-tanya. Bukannya saudara Najma itu Taqi? Tapi sekarang kenapa Anzar?
"Zel, padahal otak lo itu cukup encer. Masa gini aja gak ngerti. Zel sadar. Di sini cuma lo yang gak tahu apa-apa. Makanya gue bilang jangan liat orang dari covernya doang."
Benar kata Anzar. Di sini dialah yang paling tidak tahu apa-apa. Dia hanya orang baru yang hadir di antara mereka. Tapi apa harus sampai seperti ini dia dibodohi. Salah, bukan Anzel yang dibodohi. Tapi Anzel memang bodoh. Bodoh karena membiarkannya begitu saja. Tanpa mencurigainya sedikitpun dan terhanyut dengan alur yang mereka buat.
Sejak kapan mereka bersaudara? Bukannya mereka pernah pacaran? Kalau mereka pernah serumah, apa orang tua mereka tahu kalau anaknya pacaran?
Anzel tidak sebodoh itu sampai mengira mereka saudara kandung. Yang pertama dia pikirkan saat mendengar kata saudara adalah, mereka menjadi saudara tiri karena keegoisan orang tua mereka. Tapi sejak kapan mereka bersaudara? Pertanyaan itu masih terngiang dan belum terjawab.
Dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku, mencari kontak bernama Taqi lalu menelponnya. Dia harus menuntaskan rasa penasarannya mencari jawaban akan semua pertanyaannya.
"Ada apa Zel?" suara Taqi terdengar begitu telepon tersambung.
"Gue butuh jawaban tentang ... Nana," ujar Anzel sedikit ragu.
Anzel tidak tahu, apa setelah menemukan jawabannya dia akan masih percaya pada Najma atau mungkin dia harus kecewa dan kembali ke peraturan awal. Asing dan tidak saling kenal.
Dia takut, dia takut setelah tahu jawabannya dia mendapat kecewa. Tapi, bukankah itu sudah menjadi setting alam? Dia berani memulai, jadi kemungkinan kecewa adalah konsekuensi yang dipunya.
"Gue tunggu di sekolah. Gak enak kalau lewat telepon," ujar Taqi.
Taqi paham kemana arah pembicaraan Anzel, mungkin Anzar sudah memberitahunya perihal yang terjadi di klinik.
Anzel tidak membalas ucapan Taqi. Dia memutus sambungan telepon dan memasukkan ponselnya ke dalam saku."Na, apa gue bisa percayain hati gue ke lo?" tanya Anzel entah pada siapa, karena di sini hanya ada dirinya sendiri.
Anzel bergegas meninggalkan klinik. Dia harus segera pergi ke sekolah dan mendapat jawabannya sekarang.
*****
Anzel berjalan masuk ke dalam kelas. Matanya tertuju ke arah Taqi yang saat ini tengah mengobrol bersama Virgan. Ada juga Anzar di samping mereka. Tatapan mereka beradu. Anzar menyorot Anzel dengan seringaian sinis yang menghiasai wajahnya. Begitu pula Anzel, dia memandang Anzar dengan tatapan yang tak kalah sinis.
"Ada apa dengan kalian?"
Pertanyaan dari Virgan menjadi pemutus sesi tatap-tatapan di antara mereka. Anzar memalingkan pandangan ke samping dan Anzel dengan isyarat mata meminta Taqi untuk mengikutinya.
"Kalian mau kemana? Sebentar lagi guru masuk," Virgan kembali bersuara.
Rasa penasaran mendominasi di hati Virgan, karena melihat Taqi yang segera berdiri begitu Anzel datang."Gan belajar yang rajin biar juara. Gak usah kepo urusan orang," ucap Taqi sembari menepuk pundak Virgan perlahan.
Sebenarnya dibanding nasihat, kata-kata Taqi barusan lebih terdengar seperti sebuah peringatan untuk Virgan. Meski sebentar, raut wajah Virgan sempat berubah. Seperti ada amarah yang dipendamnya. Tapi bukan Virgan namanya kalau tidak pandai mengendalikan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Najma Sagara (END)
De TodoKarena kekeliruan dalam mengenali presensi tubuh, Najma salah memeluk sembarang orang. Kesalahan itu menjadi alasan garis hidup Najma bersinggungan dengan Anzel, seorang badboy yang mengidap haphephobia. Banyak hal rumit terjadi setelah tragedi itu...