Robin

129 14 0
                                        

Yuhuu aku kambek lagi gays
Jan lupa vote sebelum baca gays

Happy reading...

______

"Yang barusan, itu ... pacar kamu?" tanya Dokter Hana, yang membuat senyum Najma luntur, berganti dengan raut tegang.

"Aku harus jawab apa?" batin Najma.

"Saya kira dia pacar kamu," ucap Dokter Hana tersenyum. "Kalau gitu lanjutin istirahatnya biar cepet pulih, saya mau cari Asa dulu."

"B–bu Dokter, maaf, kalau sudah bertemu Kak Asa, saya ... mau bicara dengannya. Maaf." ujar Najma menunduk. Tak enak meminta tolong pada orang yang lebih tua.

Tangan Dokter Hana mengelus sayang kepala Najma, "Iya, kalau ketemu, Ibu sampe-in." ujarnya.

Najma mengulas senyum, begitu juga Dokter Hana, beliau tersenyum hangat ke arah Najma. Senyum seorang Ibu yang diberikan kepada putrinya untuk menghibur dan menguatkan.

Ahh, sudah lama sekali Najma tidak melihatnya. Dulu waktu masih tinggal bersama-sama, Ibu sering menunjukkannya. Sekarang? Najma sudah lupa kapan terakhir kali melihat senyum seperti itu dari Ibunya.

*****

Anzel mengendarai motornya menuju sekolah. Saat ini pikirannya bertemakan Najma. Tadi, waktu Najma dan Anzar bicara berdua, di balik pintu ada Anzel yang sengaja menguping. Dia juga melihat bagaimana Anzar memperlakukan Najma.

Melihat Anzar sebegitu terluka, sampai melakukan hal gila karena tidak ingin berpisah dengan Najma, Anzel jadi sedikit takut. Apa dia juga akan seperti itu jika Najma meninggalkannya, atau dia mungkin akan lebih gila? Anzar saja yang normal seperti itu, apalagi dia yang punya kelainan. Dia rasa dirinya akan lebih gila dari Anzar.

Niat awal ingin kembali ke sekolah, tapi otak dan hatinya tidak sinkron. Motornya ia parkirkan di halaman warung Mang Asep.

Mungkin karena tempat ini selau jadi tempat pelarian—di kala  masalah menghujani hidupnya, atau karena tempat ini, tempat yang paling sering ia kunjungi semenjak tinggal di sini, jadi tanpa sadar ia memarkirkan motornya di sana.

Sejak dari parkiran tadi, otaknya tidak hanya dipenuhi perihal Najma saja, ada satu pertanyaan yang terus berputar di kepala Anzel. Di parkiran ada banyak motor dengan lambang stiker yang sama. Sekitar 12 motor besar berwarna hitam dengan stiker logo yang sama terparkir rapi di sana. Siapa mereka?

Pertanyaan yang bersarang di kepala Anzel terjawab ketika masuk ke dalam warung. Di  sana ada banyak laki-laki dengan jaket berlambang sama dengan stiker yang tertempel di motornya. Anzel yakin itu pastilah anggota geng.

Setelah memesan minuman, Anzel duduk di meja yang biasa di tempatinya. Jika biasanya ada Anzar, Taqi dan Virgan, kali ini dia sendiri. Anzel tersenyum hambar. Apa pertemanannya akan berakhir tragis seperti ini?

Beberapa dari lelaki berjaket itu mencuri pandang ke arah Anzel, mereka juga berbisik-bisik dan mengerlingkan mata ke arah Anzel. Anzel sadar mereka tengah membicarakannya, tapi masa bodo opini orang bukan urusannya.

Setelah menenggak habis minuman yang dipesannya, Anzel lantas berdiri, dia berencana menuntaskan niat awalnya ke sekolah. Tapi kalau kembali ke sekolah sekarang, mungkin jam pelajaran sudah kembali dimulai, atau mungkin sudah waktunya istirahat ke dua.

Anzel melirik jam di ponselnya, "Shit, udah waktunya istirahat." umpatnya.

"Lo tanya langsung aja."

Indra pendengaran Anzel menangkap seseorang berbicara seperti itu. Atensi Anzel terarah ke orang yang bicara barusan. Anzel mengernyitkan dahi ketika mendapati orang itu melambai dan tersenyum, menyapanya.

Najma Sagara (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang