After One Night Stand

105 20 0
                                    

Haii aku kembali lagiii

Happy reading ...

Setelah berpisah dengan Ray di persimpangan, Anzel melanjutkan laju motornya ke tempat orang tuanya berkerja. Anzel merasa sangat membutuhkan perawatan untuk lukanya saat ini. Maka dia harus menemui Ibunya. Kenapa Ibunya? Karena bisa lebih parah kalau malah menemui Ayahnya. Meskipun tahu Ibunya juga sama saja dengan Ayahnya. Anzel tetap memilih Ibunya. Setidaknya Ibunya hanya akan mengomelinya saja.

Anzel berjalan mengendap-ngendap sambil menyeret kakinya yang sudah membengkak akibat kena tendangan anggota Aphellion tadi. Kenapa harus pas di tulang kering sih? Kan jadi runyam ujungnya. Dia berjalan mengendap-ngendap seperti maling untuk menghindari para perawat. Kalau sampai para perawat tahu, beritanya bisa sampai ke telinga Ayahnya. Tamat sudah riwayat bandel Anzel. Makanya dia harus secepatnya menemui dokter Hana dan mendapat perawatan darinya.

"Semoga saja Ibu belum pulang." batin Anzel.

Tapi Anzel harus menelan saliva bersama kekecewaan. Pasalnya saat ini bukan Ibunya yang ada di depannya, tapi Ayahnya yang kebetulan saat ini sedang kebagian tugas malam. Oh sial.

"Ada perlu apa ke sini?" orang yang bername tag Azel Bratadikara itu bertanya sambil menelisik penampilan putranya yang amburadul.

Melihat putranya yang seperti itu dia hanya bisa menghela nafas. Jengah dengan kelakuan Anzel yang selalu saja bikin pusing kepalanya.

"Berantem lagi?" dengan tangan yang terlipat di dada dan tatapan yang menusuk, Anzel serasa di kuliti hidup-hidup.

"Asa,  Ayah butuh jawaban." meskipun terdengar tenang, tapi suara Ayahnya terkesan sarkas di telinga Anzel.

Sebandel-bandeknya Anzel dia tidak berani melawan Ayahnya. Ada rasa tersendiri saat sang Ayah menatapnya. Seperti apa yah, Anzel sendiri sulit menjelaskannya. Yang pasti perasaan Anzel saat di tatap Ayahnya lebih dari sekedar rasa takut.

"Asahi, kenapa diam? Benarkan kamu berantem lagi?"

Anzel tetap bertahan dengan gemingnya.

"Asahi, kapan kamu akan dewasa? Asa ...  Ayah sudah lelah," sambungnya.

Hanya suara detak jarum jam yang menjadi pengisi suara di ruangan berukuran 3x3 meter ini. Baik Ayah maupun Anzel, keduanya tidak bersuara, mereka disibukkan dengan pikirannya masing-masing.

"Pulang! Kita bicarakan lagi nanti  di rumah," Ayah beranjak dari tempat duduknya. "Obati dulu sebelum pergi." tukas sang Ayah sebelum undur diri dari ruangannya.

Anzel menghembuskan nafas lega. Untunglah Ayahnya tidak sampai mengancam memindahkan sekolah Anzel. Jujur hal Itu adalah yang paling Anzel takuti. Dia sudah terlanjur nyaman bersekolah di SMA Tamra.

Anzel kembali menggiring kakinya keluar dari ruangan yang baru saja ditinggalkan pemiliknya itu. Berjalan menyusuri lorong yang semakin sepi, dan berakhir di depan sepeda motornya. Anzel memandangi motor kesayangannya, lalu menghela nafas berkali-kali.

"Gue belum siap kehilangan lo," Anzel berbicara pada udara kosong.

Setelah mencabut kunci dari sepeda motornya, Anzel kembali melanjutkan langkahnya. Menyeret paksa kakinya yang membengkak dan semakin terasa nyut-nyutan.

Anzel meninggalkan motornya di parkiran klinik, Anzel lebih memilih berjalan kaki untuk pulang ke rumahnya. Selain karena jarak antara klinik dan rumahnya yang dekat, dia juga tak tahu bagaimana nasib motornya. Anzel yakin nasib motornya gak akan baik-baik saja. Daripada sakit hati melihat motor kesayangannya di giring sang Ayah ke sorum, mendingan dia tinggalin di klinik biar gak terlalu sakit.

Najma Sagara (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang