Klinik

71 5 0
                                    

Hai I'm coming
Sorry lama up nya.
Jan kupa vote.
Yu gasskeun baca weh.

Happy reading...

________

"Oke." sahut Robin mengangkat kedua tangannya. Senyum tulusnya terukir melihat Anzel yang berhati-hati menggendong tubuh Najma, diiringi raut wajah yang sarat akan kekhawatiran. Seakan Najma itu hal rapuh yang bisa hancur kalau sedikit saja dia salah menyentuh.

"Kalian duluan saja. Gue ada yang mau disampe-in dulu sama dia." ujar Robin kepada Anzel. Padahal tanpa disuruh pun Anzel sudah berniat akan pergi meninggalkannya. Rasanya tak suka saja jika harus jalan berbarengan dengan cowok yang jelas-jelas rival cintanya.

Robin berjalan melewati Erik, berbisik sesuatu di depan telinga Anzar yang membuat Anzar membelalakan mata karena terkejut.

"Thanks ya Zar." ucap Robin tersenyum simpul, dengan tangan menepuk-nepuk bahu Anzar, menguatkan.

Wajah terkejut yang Anzar tunjukkan berubah padam penuh amarah, tangannya yang sudah terkepal sempurna ia layangkan ke arah Robin guna meninju wajah mantan sahabatnya itu. Karena menurutnya, wajah Robin saat ini sangat menyebalkan. Tapi sayang, Robin terlalu pandai berkelit. Jadi, wajahnya tidak mendapat ciuman pedas tinju milik Anzar. Yup, Robin menghindarinya, yang berakhir Anzar meninju ruang kosong dan mengeluarkan berbagai kata umpatan.

Erik yang menyaksikan adiknya sudah tidak bisa mengontrol emosi hanya bisa menghela nafas panjang. Dia sudah hampir tidak mengenali adik laki-lakinya. Kemana perginya Anzar yang rewel minta ini minta itu, kemana perginya Anzar yang suka mengoceh saat keinginannya tidak dipenuhi, kemana perginya adik laki-laki yang selalu mengadu kalau ditinggal di rumah sendiri.

Salah. Bukan Anzar yang sudah tidak dia kenali, tapi sedari awal Erik tidak mengenal Anzar, makanya dia gagal menjadi Abang yang baik dan membiarkan adiknya masuk ke dalam masalah sendirian. Oke, Erik bertekad. Kali ini dia tidak boleh membuat kesalahan, dia tidak boleh kehilangan adiknya lagi.

Anzel mendudukkan tubuh Najma di atas jok motornya. Menanggalkan sweater hoodie yang dipakainya, menyisakan kaos oblong tipis berwarna putih yang dia pakai sebagai dalaman. Lantas memakaikan hoodie big size-nya pada tubuh si gadis.

"Sorry, gue gak bawa helm," ujarnya sambil merapikan tudung hoodie di kepala si gadis supaya si gadis merasa nyaman dan tidak kedinginan.

Anzel menatap nanar pergelangan tangan Najma. Meskipun tertutup, dia masih mengingat seperti apa bentuk luka yang tersembunyi di balik kain hoodie itu. "Pasti sakit," gumamnya.

"Nanti kita mampir ke klinik dulu, obati luka kamu." lanjut Anzel dengan tatapan masih tertuju pada pergelangan si gadis.  "Maaf," imbuhnya lirih.

"Aku gak papa Kak," balas Najma memaksakan senyum.

Kalau saja tidak melihat kondisi, mungkin Anzel sudah mengumpat, memaki dan berteriak sekeras-kerasnya atau kalau bisa mencincang dan menggoreng tubuh Anzar lalu menjadikannya pakan harimau.

Dia tak habis pikir, kok bisa Najma masih tersenyum di saat kondisinya seperti itu, padahal dia tidak perlu berakting baik-baik saja di depannya. Dia boleh menangis, berteriak ataupun meraung, itu tidak masalah untuknya. Justru melihat Najma yang seperti itu, tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa malah membuatnya semakin terasa  buruk.

"Na, mau ikut gue atau dia?" tanya Robin tiba-tiba, memecah keheningan yang tercipta di antara mereka.

Si gadis tampak menimang-nimang. Ikut Robin dan berakhir di rumah Ayahnya dan bersiap-siap dengan segala kemungkinan yang menunggunya atau ikut Anzel yang saat ini statusnya pacar dan dia sendiri tidak tahu kemana remaja laki-laki berstatus pacar itu akan membawanya.

Najma Sagara (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang