"Gaji kamu minggu ini, sorry Kun. Ini gaji terakhir yang bisa aku kasih, selebihnya kamu bisa mencari pekerjaan lain." Amplop cokelat berisi uang Rama serahkan untuk Kuni.
Kuni ragu menerima amplop pemberian Rama. Di satu sisi, ia merasa kasihan atas musibah yang menimpa sahabat sekaligus bossnya itu. Tapi di satu sisi, dia juga membutuhkan uang itu.
"Ini." Rama menarik telapak tangan Kuni.
"Bro, semangat yo. Mungkin kemarin belum rezekimu, semoga di lain waktu, kamu bisa membangun bengkel yang lebih besar lagi." Kuni menepuk-nepuk pundak Rama memberi penyemangat.
Rama mengangguk sambil tersenyum. "Aamiin."
"Rencana kamu mau perbaiki bengkel lagi apa gimana, Ram?" tanya Kuni.
"Aku masih bingung mau ngapain Kun." ujar Rama jujur.
"Yaudah nggak papa, pikiran kamu ditenangin dulu. Kalau udah bisa diajak berpikir jernih, baru kamu mulai mengambil langkah. Nggak harus terburu-buru Ram, capek istirahat. Kamu pasti masih syok 'kan?" Kuni berdiri berniat mengambil minum untuk Rama, Rama tengah bertamu ke rumahnya.
"Kun, nggak usah repot-repot. Aku mau pulang ini." Rama mencekal tangan Kuni.
"Minum dulu lah Ram, ngeteh sambil jagongan." timpal Kuni.
"Ada yang mau aku tanyain." ucap Rama menepuk kursi sebelahnya dua kali.
"Nanya apa?"
"Kira-kira apa yang membuat bengkelku terbakar? Menurutmu, apakah ada orang yang sengaja ingin bakar bengkelku, Kun?" tanya Rama serius.
Kuni mengusap-usap dagunya berpikir. "Gimana supaya kita tau darimana asal muasal apinya, ya Ram? Posisi, gerbang rumah nggak ditutup. Adikmu juga nggak ada yang tau. Kita nggak bisa asal nuduh orang begitu saja, emang kamu ada curiga sama seseorang?"
"Enggak sih, aku nggak menaruh curiga sama siapapun. Aku nggak punya musuh. Tapi tetep aja, kamu tau kan? Aku mandi keringat buat besarin usahaku itu. Aku kecewa sama Rafis dan Reva, sebelum kita pergi aku udah bilang dari luar bahkan sampai masuk ke dalam cuman buat ngingetin suruh jagain rumah. Kenapa mereka juga nggak tau apa-apa? Mereka udah besar, kenapa diberi amanat begitu saja nggak becus." Rama bercerita.
"Ram, adik-adikmu juga nggak tau akan kejadian seperti ini. Jadi aku rasa, kamu salah kalau nyalahin mereka."
"Siapa yang nyalahin? Aku nggak nyalahin mereka. Aku bilang seandainya mereka benar-benar menjaga rumah, pasti bengkel aku nggak akan terbakar habis seperti sekarang." bantah Rama.
"Sama saja, Ram. Kamu seolah salahin mereka." balas Kuni.
Rama mengerutkan alis tidak suka dengan tanggapan Kuni. "Kamu nggak tau ya maksudku gimana?"
"Aku tau, Ram." Kuni dan Rama saling menatap. Benar, emosi Rama memang sedang tidak stabil sekarang.
"Aku mau pulang, makasih atas waktunya." Rama beranjak berdiri, air mukanya terlihat kesal.
"Ram, hey..." Kuni menahan pundak Rama. "Tenangin dulu pikiran kamu. Jangan berpikir macam-macam, kalau butuh apa-apa, kamu bisa hubungin aku." pesan Kuni.
Rama mengangguk singkat. "Makasih." Rama memakai sandalnya, kemudian berjalan tanpa berpamitan lagi pada Kuni, sepertinya dia marah.
Sesampainya di rumah, Rama duduk di samping Ayah. Rama diam tanpa memulai pembicaraan, begitupun dengan Ayah.
"Yah, ini tehnya." Atensi Rama beralih kepada suara yang muncul. Itu Reva, ternyata Ayah sudah meminta Reva membuatkan teh untuk Rama.
Terlalu berat untuk tersenyum. Perkataan Kuni terus berputar di telinga Rama. Rama memejam menyandarkan punggung pada tembok rumah yang masih tersisa.