Guys, chapter ini gua ngikut Rama, jadi terserah mau gimana sikap dia, gua ngikut aja kali ini🙃
•••
Kondisi Rama tiba-tiba drop.
Rafis mengaku salah. Rafis tau kata maaf tidak bisa mengembalikan keadaan seperti semula. Selain harus jujur kepada Rama---orang pertama yang Rafis kasih tau. Dia mesti jujur kepada orang rumah lainnya, Ayah dan Reva.
Rafis tak sanggup menanggung rahasia sebesar ini sendirian. Dia sempat berniat tak akan pernah memberi tahu Rama, tetapi perasaannya semakin diluputi rasa bersalah. Rafis mencoba mengalihkan pikiran itu dengan bersenang-senang bersama kawan-kawannya, lalu menegak alkohol berharap bisa lupa dengan kenyataan tersebut. Nyatanya itu malah memperburuk keadaan.
Rendi mengusap wajahnya frustasi. "Ayah nggak nyangka ternyata kamu orang di balik penyebab kebakaran bengkelnya Rama waktu itu."
"Bukan hanya Rama yang kecewa, Ayah juga kecewa sama kamu." Rendi duduk di salah satu kursi tunggu, menatap tegel lantai. Masalah satu baru akan selesai malah timbul masalah baru.
"Yah ... Rafis nggak sengaja, jangan benci Rafis, Ayah." Rafis berkata serak, seolah menahan tangis.
"Kenapa kamu baru bilang sekarang, Mas? Kenapa nggak bilang dari dulu?" sahut Reva kesal.
"Aku juga baru inget kemarin. Aku sama sekali nggak mikir sampai ke situ kalau api kecil itu bisa membakar bengkelnya Mas Rama." jelas Rafis.
"Bisa-bisanya." lirih Rendi tak habis pikir anak tengahnya sebodoh itu.
"Lagian Mas Rama sebelum pergi nggak beresin dulu, aku liat ada motor yang jok nya kebuka, aku nggak tau kalau air-air yang di bawah itu ceceran bensin, dan aku juga gak tau kalau bisa merambat sebesar itu, Yah, Va. Aku nggak sengaja..."
"Kenapa dengan pedenya kamu buang api ke depan teras sih Mas? Punya Mas Rama lho, mana nama bengkelnya udah besar, sampai minggu kemarin baru kelar bayar ganti rugi motor pelanggan-pelanggan." ucap Reva membuat jantung Rafis mencelos rasanya. Harus bagaimana supaya dia bisa menebus kesalahannya?
"Kamu ngapain pakai basket juga sih, kalau kamu ada pasti juga gak akan jadi kebakaran." Rafis mencari-cari kesalahan lain.
"Salahnya di kamu, Fis. Jangan salahin orang lain." tegur Rendi.
"Tapi kan--"
"Rafis." panggil Rendi tegas. Menyuruh Rafis supaya menyudahi perdebatan itu.
Rafis menghela napas.
•••
Netra kembar Rama perlahan terbuka menyesuaikan cahaya yang masuk melalui retina matanya. Sepasang nasal kanul menyumbat lubang hidungnya, Rama meraba alat itu.
Sebuah tangan melambai di atas wajah Rama.
"Bisa lihat tangan Ayah?"
Rama mengernyit, kemudian mengangguk samar.
"Kenapa ini, Yah?"
Rama mengerutkan kening, baru saja bangun kepalanya sudah sakit lagi.
"Kamu drop, kata dokter kamu kurang makan, gula darah kamu jadi rendah, oksigen juga rendah,"
"Jangan mikir apa-apa dulu." titah Rendi melihat Rama tampak berpikir keras seolah berusaha mengingat rentetan kejadian sebelum dirinya pingsan. Terasa ada yang janggal.