Bisa membayangkan, bagaimana ketika dada kalian ditindih seseorang dari atas? Lalu seseorang itu turun, lalu naik lagi, turun lagi, dan hal itu terulang berkali-kali.
Pasti rasanya sesak bukan?
Seperti itulah yang sedang Rama rasakan. Namun Rama tak mengeluh, dia tidak mau membuat adik-adiknya khawatir.
Sekarang Rama sedang duduk bersandar, rasanya semakin sesak dipakai tidur. Apalagi jika tidurnya terlentang, baaah Rama tidak sanggup.
"Mas, baksonya udah aku kasih ke tetangga," Reva masuk rumah.
"Mbak Ratri bilang makasih, dia juga doain usaha Mas Rama semoga makin laris." sambung Reva.
Rama mengangguk. "Aamiin, baik banget mereka mau do'ain usaha kita,"
Reva menyadari tarikan nafas Rama yang terdengar berat. "Ke puskesmas yuk, Mas."
"Mager, ah," jawab Rama ngasal. Terlebih kepalanya sedang berdenyut tak karuan.
"Lah gimana nih? Masa aku biarin Mas Rama kaya gini."
"Sesek dikit, nggak perlu kawatir. Mas udah biasa," tangan kanan Rama naik memijit-mijit dada. Rama melakukan itu untuk meringankan rasa nyeri.
"Sekarang aja Mas, nanti kalau ditahan-tahan aku takut Mas Rama kaya kemarin," bujuk Reva.
"Enggak ya ampun ..." Rama terkekeh, lalu meringis. Tertawa pun menambah intensitas rasa sakitnya.
Rama memejamkan mata dengan bantuan obat pereda nyeri, sudah lama sekali ia tak mengonsumsi obat itu. Belum melewati tanggal kadaluwarsa jadi Rama minum saja.
JLUK!
Rama meringis tanpa bersuara. Benar-benar seperti ditindih, diinjak berulang kali.
"Oke, tenang." Rama bersugesti.
Rama menekan inhaler ke dalam mulut. Baru sadar benda itu terasa lebih ringan, Rama mengocok benda kecil itu pelan. Berharap masih ada sisa, satu semprotan saja rasanya kurang.
"Hey, habis dari mana?" Rama memanggil Rafis, melihat sekelibat anak itu dari pintu yang memang tidak ditutup rapat.
Rama bisa berjalan. Dia mengikuti Rafis yang tidak mengindahkan pertanyaan Rama.
"Fis. Dari mana?"
"Nggak dari mana-mana, Mas," jawab Rafis tak memuaskan.
"Nge-band lagi?" tebak Rama.
"Latihan, besok mau perform. Duitnya aku tabung buat beli hp seken." timpal Rafis.
"Tapi kamu lihat waktu, ini udah malem. Kerja sekolah kamu udah beres belum?"
"Ah, nggak penting Mas," Rafis mendesah.
"Penting lah, masa depan kok nggak penting." sahut Rama.
Tidak ingin memperpanjang keributan, jiwa remaja Rafis memang sedang panas-panasnya. Rama juga pernah berada di posisi seperti Rafis; ingin kerja dan mendapatkan uang sendiri. Tapi yang salah bukan keinginan Rafis, tetapi Rafis yang tidak pandai mengatur waktu, dia juga ceroboh. Buktinya, kunci motor masih tergantung di stop kontak mana masih dalam keadaan 'ON'.
"Awwwh, sakit anjir!" Rafis teriak telinganya ditarik.
"Kalau akinya tekor gimana?" Rama menambah kekuatan tangannya yang menarik daun telinga Rafis.
"Anj-"
"Mulutmu!" Rama melepaskan jeweran sambil menegur.
Rafis menyengir. Mengusap telinganya yang sudah ia pastikan merah merona.