Secangkir kopi tanpa rokok.
Setahu Rama, Ayahnya juga merupakan perokok aktif. Namun Ayah selalu menjauh ketika ingin menghidupkan puntung tembakau tersebut.
Bibir Rama warnanya pink. Hanya dua kali seumur hidup Rama dia berani merokok. Entah mengapa, sekali hisapan dadanya langsung seperti terbakar, panas, sesak, batuk-batuk kering. Tidak enak sama sekali. Kadang merasa canggung menjadi pemuda yang tak bisa merokok, ingin basa-basi tapi malah berujung merugikan diri sendiri.
"Yah." panggil Rama menatap lurus ke arah pohon mangga. Kata orang, kalau malam samsak Rama sering goyang-goyang sendiri padahal tidak ada angin.
Rendi bergumam tanpa menatap Rama, Rendi sedang menyesap kopi.
"Kalau mau nikah, apa aja sih Yah yang perlu disiapin?" tanya Rama menahan bibir agar tidak senyum. Agak malu ya.
Malam-malam begini memang paling enak kalau mau curhat sama Ayah.
"Nikah?" Rendi menatap Rama. Rama mengangguk diikuti senyuman lebar.
"Anak Ayah pengen nikah?" Rendi menaruh kopinya lalu tangan kanannya menepuk-nepuk pundak Rama.
Rama menggaruk rambutnya kikuk.
"Sini Ayah kasih tau," Rendi merangkul pundak Rama.
"Sebelum kamu yakin dia akan menjadi istrimu, kamu harus bertanya kepada dirimu sendiri. Apakah kamu benar-benar mencintainya? Apakah kamu nyaman bersama dengannya? Apakah dia pribadi yang bisa mengerti dan bisa mendampingimu di kala susah maupun senang? Kamu harus memikirkan pertanyaan tersebut sebelum menjadikan seseorang itu sebagai pendamping hidupmu,"
Rendi menatap Rama yang diam mendengarkan.
"Yang ke dua, Fisik. Kamu laki-laki, tugas laki-laki adalah melindungi. Mampukah dirimu menjadi pelindung istrimu kelak? Anak-anakmu, nantinya? Seorang kepala keluarga dibutuhkan tanggung jawab yang besar. Fisik itu penting, kalau kamu menjaga fisikmu sendiri saja belum mampu, sebaiknya tunda dulu keinginan kamu sampai kamu merasa fisik kamu mampu untuk mengemban tanggung jawabmu sebagai kepala keluarga. Dan sebaliknya, jika kamu merasa fisik kamu sudah sanggup menjadi pelindung dan siap maju pertama atas nama keluargamu, maka kamu tidak perlu ragu lagi untuk melangkah lebih serius."
Refleks Rama menjadi mengangkat kedua telapak tangannya.
"Ketiga, ilmu. Orang yang sehat pasti bisa mencari pengetahuan dari orang lain atau membaca dari buku. Contohnya, seperti kamu. Kamu sehat, makanya sekarang kamu bisa bertanya dengan Ayah tentang hal-hal yang mesti disiapkan sebelum menikah. Jangan grasak-grusuk langsung nikah tanpa tahu adabnya. Ada adab yang paling penting, mau tau nggak?"
Rama mengangguk antusias.
"Adab membuat anak. Jangan asal masukin aja. Masuk, keluar, seenak sendiri. Ada caranya,"
"Hooooo jadi waktu Ayah sama Bunda bikin Rama. Ada adabnya ya, Yah?" tanya Rama mengernyit.
"Iya, dong. Lihat kamu, tumbuh jadi anak laki-laki baik, bibit Ayah memang nggak pernah salah. Kita konsul dulu sama dokter bukan asal-asalan, baca do'a juga, bukan langsung maen di kamar." lanjut Ayah membuat Rama tertarik.
"Gimana emang Yah, cara bikin anak yang bener dan pinter?"
"Mmmm, doanya Ayah lupa ..." Rendi mengusap dagunya. Sudah lama tidak melakukan hubungan suami-istri semenjak kelahiran Reva.
"Yaudah kalau gitu caranya, kata Ayah jangan asal masuk. Terus gimana?" tanya Rama terlanjur ingin tahu.
"Besok aja kalau kamu udah menikah beneran, Ayah kasih tau resepnya." bisik Rendi.