Minggu belakangan ini Rama disibukkan dengan berbagai macam syarat pernikahan. Tiba saatnya akhir pekan, Rama berjanji akan menghabiskan waktu bersama Rafis dan Reva, namun kenyataannya Rama justru sibuk mengurus segala keperluan pernikahan yang akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat, tidak sampai satu bulan lagi.
Rama dan Sinta sudah melakukan foto pre-wedding di Hutan Pinus Mangunan, Jogja. Sudah pula menyiapkan kebaya yang akan dikenakan waktu resepsi dan akad nikah nanti.
Ngomong-omong seluruh biaya pesta pernikahan ditanggung oleh Rama dan Sinta. Pihak keluarga juga membantu, namun tidak seberapa. Rama dan Sinta mengaku sanggup mengadakan rabi geden pada acara mereka nanti, acara sekali seumur hidup yang tak akan terulang kembali.
"SUMPAH TURUNIN!" Reva menjatuhkan selang air sambil berteriak ketakutan.
Rama tidak berhenti berputar membuat teriakan gadis itu semakin kencang. Rama membopong tubuh Reva sambil berputar-putar di teras rumahnya. Rama memperlakukan Reva seperti anak kecil yang sedang digendong kakaknya.
Rama menurunkan tubuh Reva, mereka berdua saling berpegangan, Rama memegang pundak Reva sedangkan Reva berpegang pada pergelangan tangan Rama.
Rama membuka matanya dirasa pandangannya sudah berhenti berputar. "Mau lagi nggak?"
"Nggak!" jawab Reva ngegas. "Mas ngagetin! Orang lagi nyiramin bunga tiba-tiba maen gendong aja."
"Gapapa, kangen gendong kamu soalnya," ujar Rama senyum. Sudah lama tidak menggendong Reva semenjak gadis itu memasuki usia pubertas.
"Mas Rama ntar masih sibuk?"
Rama menggeleng. "Hari ini kelurahan tutup, Mas mau di rumah aja sama kalian."
"Berarti kalau hari ini kita ke lapangan, Mas Rama bisa?" tanya Reva bersemangat. Sudah sangat lama ia menanti Rama memiliki waktu untuk bermain bersama, akhir-akhir ini Rama terlihat sangat sibuk.
"Ikut!" Rafis berlari merangkul pundak Rama dan Reva.
"Janji jangan berantem di jalan lagi? Inget jalanan itu rame, banyak motor, kalau mau nyebrang liat kanan kiri, jangan ngobrol mulu," Rama menggeser posisi Rafis yang semula berada di tengah lalu pindah ke pinggir, kini Rama yang ada di tengah. Rama menjewer pelan telinga Rafis dan Reva karena kesal mengingat tabrak lari waktu itu.
Rafis menyengir, diikuti oleh Reva.
"Janji. Kita akan lebih hati-hati lagi," ujar Reva.
"Makasih ya udah selamatin kita waktu itu, Mas."
"Telat kamu bilang makasihnya, Fis," Rama memutar bola matanya. "Tapi sumpah sih, kalian harus hati-hati ketabrak itu sakit. Mas kemarin sampai bengkak, lemes, demam juga sampai ngigau Sinta di sini," Rama duduk di kursi teras.
"Kan emang ke sini Mbak Sinta, aku yang ngabarin. Terus waktu itu dia pulangnya nungguin kita pulang sekolah dulu, katanya Mas demam tinggi sampai ngelindur nggak jelas," jelas Rafis.
"Iya. Mas tuh kayak udah setengah sadar gitu, kita takut mau nelpon Ayah. Jadi jalan satu-satunya ya nelpon Mbak Sinta, deh." imbuh Reva.
"Kok kalian nggak ada yang cerita?!" Rama terkejut mendengar kondisinya.
"Yang penting sekarang Mas udah sembuh, udah bisa jalan lagi." balas Reva.
Rama menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Langit di atas tertutup oleh pohon mangga yang tumbuh subur di samping rumah. Reva bersandar di sisi kanan pundak Rama, sedangkan Rafis ikut bersandar di sisi kiri pundak Rama. Satu kursi panjang dipakai duduk bertiga, saling bersandar di bahu kakak tertua mereka.