Pribadi yang tak kenal lelah, menjadi tameng terbaik untuk adik-adiknya. Mendidik Reva sebaik perempuan, menyayangi Reva di tengah-tengah keluarga yang beranggotakan laki-laki. Rama membesarkan hati Reva, mengingatkan bahwa dia tidak sendiri di rumah ini. Biarpun laki-laki, Rama berusaha mengerti tumbuh kembang adik gadisnya, tanpa harus bertanya.
Rama menyaksikan sendiri tumbuh kembang Rafis dan Reva, sampai saat ini Rama masih bisa menggenggam mereka. Menuntun mereka supaya menjadi lebih baik dari dirinya. Rama sayang kepada mereka, Rama mengingat betul nasihat Ayah yang selalu mengingatkan Rama agar menjaga adik-adiknya.
Rama kecil membawa nasihat Ayahnya ke mana-mana. Sampai sekarang, sampai Rafis dan Reva sudah berusia remaja.
Meskipun bisa dibilang kesehatan Rama dengan adik-adiknya lebih baik milik sang adik, Rama selalu rela berkorban demi mereka. Rama menganggap dirinya lebih dewasa diantara sang adik, Rama sanggup menahan sakit, sedangkan Rama tak sanggup melihat mereka sakit. Jadi, Rama selalu menjadikan tubuhnya sebagai pelindung utama bagi adik-adiknya.
"Panas banget," Reva mengibaskan tangannya yang kepanasan.
"Mas makan dulu yuk, dari pagi Mas belum makan." Reva berucap pelan, Rama sedang berbaring, tubuhnya meringkuk kedinginan. Malam ini Rama terserang demam tinggi.
Reva bergerak memegang kaki Rama yang tertutup oleh selimut.
"Argh ..." Rama meringis dalam pejamnya. Kakinya bergerak kesakitan.
Reva membuka selimut Rama pelan.
"Mas, kakimu bengkak." cicit Reva tidak tega.
Rama mengulas senyum tipis. "Nggak sakit kok."
"Nggak sakit masa sampai demam tinggi begini."
Rama memejamkan mata lagi. Merasakan sensasi cenat-cenut di area kaki.
"Mas makan yuk, aku beliin bubur nih. Soalnya aku nggak bisa bikin bubur sendiri." kata Reva.
Rama menarik selimutnya sampai batas dada. Tangan yang awalnya berlindung di bawah selimut pun tiba-tiba menyembul keluar meraba nakas samping tempat tidurnya. Rama sedikit terburu mencari alat itu, dalam posisi berusaha duduk, Rama menekan inhaler ke dalam mulutnya.
Rama kemudian terbatuk hebat.
"Obat, t-tolong..." Rama menuding gemetar laci meja paling bawah.
"Tapi Mas kan belum makan!" panik Reva masih membawa mangkuk bubur.
Rama menggeleng ribut. Dadanya sesak, dan tidak mempan hanya diberi inhaler.
Reva membungkuk mengambil obat asma milik Rama.
Rama meminum obat tersebut dengan begitu mudahnya, tidak seperti Rafis yang harus di haluskan terlebih dahulu.
Rama bersandar ketika Reva pengertian menaruh dua bantal di belakang punggungnya. Matanya mengerjab menetralkan degup jantung yang memburu mengejar nafasnya.
"Badanku kenapa jadi nggak enak banget." gumam Rama sangat pelan sambil memegang lehernya.
"Gimana Mas?" tanya Reva tak mendengar jelas gumaman Rama.
Rama menggeleng.
"Makan Mas, wajah Mas pucet, badannya juga gemeteran gini."
Rama menatap mangkuk yang tengah Reva bawa, Rama sedang tidak selera makan. Karena terpaksa, Rama akhirnya mengangguk saja.
"Kamu beli sama siapa?" tanya Rama sambil mengunyah suiran ayam.
"Mas Rafis."
"Sekarang Rafis, mana?"