31: Pengorbanan Rama

2K 177 74
                                    

Aku jawab apa ya kalau Ayah nanti nanya?

Setibanya mereka di rumah, Rama berpikir keras merangkai alasan supaya tidak menimbulkan kecurigaan Ayahnya. Plaster medis terekat rapat menutupi kening Rafis supaya tidak infeksi.

Rama menarik kupluk hodie yang menganggur di belakang pundak Rafis. Rama menutup sedemikian rupa luka Rafis sampai tidak terlihat begitu jelas.

"Fis, ntar Ya Ya aja, ya." titah Rama memegang pundak Rafis, menatap anak itu dari berbagai arah.

"Hah?"

"Ish, pokoknya nanti kalau aku jawab pertanyaan Ayah kamu iyain aja." bisik Rama.

"Ohh, ya." Rafis mengangguk patuh.

Rama memutar engsel pintu, ketika masuk ke dalam, keadaan rumah sepi. Lampu depan pun tidak dinyalakan, Rama tetap menggandeng Rafis, berjaga-jaga seandainya dia tiba-tiba kambuh sakit kepala.

"Sepi amat." beo Rafis.

Rama menoleh samar mendengar celoteh Rafis.

"Kalian habis dari mana jam segini baru pulang?" Rama dan Rafis kontan berhenti di tempat.

Rama memutar tubuhnya. Tersenyum canggung ke arah Rafis, lalu mulai melancarkan alasan yang sudah ia rangkai tadi.

"Ngajakin Rafis keluar, Yah." jawab Rama tenang. Dia cukup lihai dalam meyakinkan Ayahnya. Rama ibarat tangan kanan Rendi, orang paling dipercayai di rumah ini. 

Rendi melemparkan tatapan heran ke arah Rama. Benarkah jawaban Rama? Bukankah terakhir Rendi melihat hubungan mereka---Rama dan Rafis belum begitu baik? Tetapi kalau benar Rama sudah baikan dengan Rafis, Rendi bersyukur. Bangga Rama mau membesarkan hati untuk menghadapi masalah ini. 

"Keluar ke mana?" tanya Rendi penasaran.

"I-itu tadi Rafis sakit kepala, terus aku ajakin keluar cari angin. Biar nggak bosen juga di rumah." jawab Rama, dia pikir itu alasan yang tepat.  Rama terlanjur menyimpan tas sekolah dan seragam osis Rafis di luar rumah.

"Kamu masih sering sakit kepala, Fis?" Rendi berganti menatap Rafis.

"Nggak sering kok, Yah." jawab Rafis berusaha terlihat baik-baik saja. Percayalah, Rafis tengah berakting saat ini, menahan pusing, terasa sangat berputar ia pakai berdiri terlalu lama.

Rendi tidak menaruh rasa curiga kepada anak-anaknya. Rama tidak mau menambah beban pikiran Rendi yang baru pulang bekerja, dan Rama juga tidak mau kena marah karena kurang memperhatikan Rafis yang masih sakit.

Rama menutup pintu kamar Rafis. Dia menghembuskan nafas lega.

"Kenapa sih, Mas?" tanya Rafis sudah terlebih dulu duduk, tidak tahan dengan pusing yang menari-nari di kepalanya.

Rama berjalan gontai. "Kamu nggak tau aja, aku bisa dimarahi kalau Ayah tau kamu jatuh lagi. Dan itu gara-gara aku yang gak nganterin kamu ke sekolah, tapi kayaknya Ayah tadi percaya sih, jadi aman." jelas Rama menghidupkan kipas angin.

"Ohh..." Rafis manggut-manggut.

"Jadi ... Mas ngerasa bersalah sama aku?" tanya Rafis kepedean.

Rama menoleh cepat. "Nggak. Sama sekali nggak." balas Rama tak mau merendahkan harga diri.

Rafis memincingkan mata.

"Jangan pandangin aku kaya gitu." titah Rama merasa risih.

"Kenapa? Mandang aja nggak boleh."

"Tidur, capek." Rama beranjak dari kasurnya Rafis.

"Mas." panggil Rafis. Rama dengan sudi menoleh pada anak itu. "Bisa jangan sebut diri Mas dengan sebutan 'aku'?"

RAMA✔️  [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang