"Maaf ya semalem kita jadi berantem," Rama memulai percakapan.
Rama meniup bubur hangat dengan telaten, kemudian ia suapkan ke mulut Sinta penuh kehati-hatian.
"Maafin aku juga," ujar Sinta.
"Aku yang harusnya minta maaf," ucap Rama.
"Gak tau kenapa, belakangan ini mood aku sering berantakan. Pengen marah mulu, padahal kamu lagi pulang kerja aku malah nambah masalah," balas Sinta menunduk tidak enak terhadap Rama yang selalu sabar menghadapi sifatnya.
"Aku juga ngerasa kamu sekarang sensitif, atau kamu lagi datang bulan?" tanya Rama.
"Nggak sih, bulan ini aku belum haid."
"Atau jangan ... jangan ... kamu lagi ha..."
"Sssst! Aku belum siap," Sinta menggeleng pelan, jari telunjuknya mengapit mulut Rama.
Rama mengangkat kedua kakinya naik ke atas kasur. "Periksa yuk Yang, aku jadi gak sabar."
"Masuk angin biasa sayang ih, pikiran kamu jangan kemana-mana." Sinta mencubit pelan lengan tangan Rama.
"Masa sih," Rama menatap Sinta.
Sinta kembali merebahankan dirinya di atas kasur, perutnya sangat mual saat ini. "Aku pingin kamu pergi Yang, tinggalin aku di rumah sendiri."
•••
"Wei si boss dateng lagi," Kuni menyambut bahagia kedatangan Rama.
Rama duduk di kursi plastik berwarna biru di samping Kuni. Rama sengaja tidak mengabari Kuni bahwa dirinya hendak ke warung karena Rama ingin tau seberapa serius Kuni menjalankan amanahnya.
Rama menganggap Kuni sudah seperti keluarga sendiri, Rama memberikan resep bakso yang ia miliki, Rama mengajarkan ilmu teknik kepada Kuni, bahkan sekarang Rama mempercayai Kuni untuk mengelola bisnis bakso yang ia miliki.
"Aku lebih nyaman di sini deh, Kun."
"Lebih rame yang di sini kan?" tanya Kuni.
"Bukan masalah itu, aku tau merintis usaha memang gak gampang. Tapi lingkungannya emang beda, kek aku lebih semangat aja di sini."
"Kan ada bini lu, Ram," Kuni duduk di sebelah Rama karena kebetulan tidak ada pembeli yang memesan.
"Lingkungannya Kun, lingkungan. Bukan masalah bini gua." ujar Rama.
"Aku tau kenapa, Ram,"
Rama melirik Kuni, "hm?"
"Kamu butuh penyesuaian diri, semangat juang. Atau kamu di sini biar aku yang di Jogja?"
"Ngawur, ya kamu kejauhan."
"Ya tinggal di rumahmu lah, Ram. Serumah sama bini mu," Kuni menggoda Rama.
"Nggak. Gak boleh ada laki lain di rumah selain aku."
"Katanya nyaman di sini, lah sebagai teman yang baik aku ya mau-mau aja di pindahin di sana biar kamu yang mengelola warung sini. Asal..." Kuni merangkul pundak Rama.
"Boleh nginep di rumah kamu!" Kuni melindungi kepalanya yang siap dipukul oleh Rama.
"Aku pecat awas kamu!" Rama menatap tajam wajah Kuni yang celelekan.
"Bercanda Ram, berchaaandya..." Kuni menepuk-nepuk pundak Rama.
Rama menekuk wajahnya kesal. "Buatin aku seporsi, buruan."