"Fis... Rafis..."
Rama terpaksa menghentikan langkahnya ketika dokter menahan tubuhnya di ambang pintu IGD.
"Dok, adik saya," Rama menuding brankar yang membawa Rafis masuk ke dalam ruangan gawat darurat tersebut.
"Saya mau nemenin adik saya, dok. Ijinin saya masuk." mohon Rama dengan memelas, menatap dokter paruh baya yang tetap setia berada di depan pintu masuk IGD.
"Setelah pemeriksaan kami akan mengijinkan anda masuk, Mas. Mohon tunggu di luar."
"Lakukan yang terbaik, dok." pinta Rama yang akhirnya mundur beberapa langkah.
"Kami akan melakukan yang terbaik untuk adik anda, mohon doa dan kerja samanya."
Rama mengangguk pelan.
Setelah itu pintu IGD ditutup rapat. Rama beralih ke jendela namun jendela juga ditutup sedemikian rapat. Rama duduk di salah satu kursi tunggu terdekat.
"Maafin Mas, Rafis..." lirih Rama memukul-mukul jidatnya.
"Mas nggak sengaja Fis ... Mas minta maaf." Rama menatap nanar ambang pintu yang menjadi tempat terakhir dirinya menyaksikan Rafis sebelum akhirnya ditahan dan tidak diperbolehkan masuk.
"G-gimana adik saya? Dia baik-baik saja kan?" Rama langsung menghampiri salah seorang perawat yang keluar dari ruang IGD.
"Korban membutuhkan transfusi darah, kami akan berupaya semaksimal mungkin." singkat perawat tersebut, kemudian berjalan cepat menuju tempat penyimpanan kantong darah.
Perawat sudah melenggang dari hadapan Rama. Namun Rama tetap mengangguk. Ia akan menyetujui semua yang terbaik untuk adiknya, Rafis.
•••
"Kalau bisa, sakitnya diganti ke tubuh Mas aja yuk, Fis." Rama mengelus lembut bagian kepala Rafis yang tidak diberi perban.
"Mas udah gede, Mas jauh lebih pantas menerima sakit ini daripada kamu." Rama menghela napas pelan, beralih mengelus punggung tangan Rafis yang terhubung ke selang infus.
Pipi Rafis sebelah kanan lecet akibat terseret aspal semalam. Rama meniupnya pelan, berharap bisa mempercepat proses kesembuhan Rafis.
Rama lupa tidak membawa hp. Lebih tepatnya tidak sempat. Rama rela menerjang hujan di pagi hari demi mengabari orang rumah. Rama bisa membayangkan betapa khawatirnya Reva, Rama belum memberi kabar apa-apa setelah aksi kejar-kejaran semalam.
"Kenapa bisa sampai kecelakaan?" Ayah bergegas berganti pakaian.
Rama tertegun. Harus menjawab bagimana dia, di satu sisi Rama ingin mengatakan yang sebenarnya. Tapi di sisi lain ia tak ingin mengecewakan Ayahnya dengan memberitahu Rafis pulang dalam keadaan mabuk.
"Rama ... Rama marahin Rafis, Yah." Rama menunduk.
"Ayah tau kalian berdua berantem, tapi kenapa? Apa masalahnya?"
"Rafis pulangnya kemaleman, Rama bilangin, dia ngelawan terus. Rama kesel, nggak sengaja pipinya Rafis malah Rama tampar gara-gara saking keselnya sama dia. Rafis kabur, Rama nggak berhasil kejar. Ini salah Rama, Yah. Rama minta maaf."
"Kamu tampar?" Ayah menatap Rama tidak percaya.
Rama mengangguk. "Nggak sengaja Ayah, Rama kelepasan."
"Ayah tau adikmu Rafis memang susah diatur, juga bandel. Tapi Ayah nggak pernah ngajarin kamu kasih pelajaran dengan cara pukul wajah." tegur Rendi menatap tegas wajah Rama.
Rama melipat bibirnya. Ia sudah mengatakan bahwa ia tidak sengaja.
"Sekarang keadaan Rafis gimana?"