Bulan pertama sepanjang sejarah Rafis dan Reva hanya tinggal berdua di rumah. Rendi kini memberikan tanggung jawab mengurus rumah kepada putra tengahnya, Rafisqi. Meski belum semahir Rama, Rafis mencoba meniru cara Rama. Mulai dari bangun pagi, menyiapkan sarapan-dibantu Reva, sampai harus mengecek semua kondisi rumah sebelum tidur.
"Woi Reva, bangun!" Kesabaran Rafis yang hanya setipis tisu harus terbelah lagi menghadapi Reva yang tak kunjung bangun di hari Senin pagi.
"Biasa aja kalik hoam..." Reva mengucek matanya.
"Bantuin bikin sarapan, keburu siang." titah Rafis menarik pergelangan tangan Reva.
"Bisa gak sih gak usah marah?" Reva duduk di pinggiran kasur menatap Rafis nyalang.
Rafis menghela nafas. "Bukan marah, tapi ngejar waktu, Va," balas Rafis dengan nada yang lebih lembut.
Reva memutar bola matanya malas.
Rafis mengekor Reva dari belakang, Reva mencuci beras, Rafis menyalakan kompor. Rama tidak mengajarkan adik-adiknya makan makanan instan, jadi mereka perlu memasak menggunakan bumbu-bumbu dapur. Berkat cerita Rama waktu itu, Rafis jadi agak merinding masak sendirian di dapur, makanya ia sering membangunkan Reva apalagi mereka hanya tinggal berdua rumah rasanya semakin horor.
"Mas," panggil Reva.
"Hm."
"Ih, gajadi."
"Apa?" Rafis menolehkan kepalanya.
"Gak, paling kamu nggak mau nurutin," cibir Reva.
"Apa?" Rafis bertanya datar.
"Mas Rama, Mas ... kangen,"
Rafis mendengarkan Reva sembari menghaluskan bawang putih.
"Pengen ketemu Mas Rama, Mas." ujar Reva.
"Lebay." sarkas Rafis.
Reva melirik Rafis tajam. Menyebalkan sekali bukan?
"Tau ah, nyesel cerita sama kamu. Gak ada nyaman-nyamannya, ngeselin, gak kayak Mas Rama!" cerca Reva.
Rafis berhenti mengulek bumbu, menoleh ke arah Reva yang masih mengerucutkan bibirnya.
"Ngeselin gimana maksud kamu?" tanya Rafis.
Reva hanya melirik tanpa menjawab.
Semenjak berpindah rumah seminggu yang lalu, Rama sempat mampir sejenak kemarin, sempat berbincang dengan Rafis dan Reva sambil membawa oleh-oleh, akan tetapi Rama sedang tidak punya banyak waktu. Ia tengah mengurus cabang bakso yang akan ia dirikan di kota Surakarta. Alhasil rasa rindu Reva kepada Rama belum juga sirna.
"Kamu banding-bandingin aku sama Mas Rama ya jelas beda lah. Aku ya aku, aku gak bisa kayak Mas Rama yang selalu bener di mata kamu, selalu sempurna di mata kamu. Aku sedang berusaha menjadi kakak yang lebih baik dari kemarin, Va. Jangan bandingin aku sama Mas Rama, aku nggak suka." keluh Rafis panjang lebar.
Reva mengerutkan alis, sedikit merasa bersalah. Hanya sedikit, biasanya Rafis tak pernah mengambil hati candaan mereka.
"Gitu aja baper," lirih Reva yang masih didengar baik oleh Rafis.
"Aku juga punya hati, punya perasaan, punya pikiran. Kamu pikir nggak sakit dikatain seperti itu tiap hari?" balas Rafis sarkas.
Reva melongo tidak percaya. Rafis? Sakit hati?
"Bercanda doang."
Rafis tak lagi membalas, takut tidak bisa mengontrol emosi ia harus lebih sabar. Ia masih belum terbiasa dengan tanggung jawab yang ia emban sekarang, menjadikan dia lebih mudah sensi.