Bibir Rama terbuka meraup oksigen sebanyak yang ia bisa. Menolak panik ketika tarikan nafasnya semakin dangkal, Rama hanya duduk di samping motornya sambil menunduk tidak peduli akan beberapa tatapan orang yang memandanginya aneh.
Ketika sesak menyerang sialnya selalu dibarengi senasi pusing yang menganggu keseimbangan.
Rama mendongak melihat mentari senja perlahan mulai menenggelamkan cahayanya, sebentar lagi hari akan segera berganti malam dan Rama hanya menghabiskan waktunya di trotoar pinggir jalan.
"Ayo Ram, ketemu orang rumah pasti sembuh. Kamu bisa, pasti bisa." Rama beranjak berdiri sebelum menggeleng-gelengkan kepalanya.
Rama meminum tandas sisa air di botol. Sedikit ia basuhkan ke area wajah hingga kini wajah serta rambutnya terlihat basah. Rama mengurut dadanya tiga kali, setelah menguatkan dirinya sendiri ia menaiki motor dan melaju meninggalkan trotoar dekat mini-mart tersebut.
Dua puluh menit kemudian Rama menyusuri jalan perdesaan tempat tinggalnya. Rama memakirkan motor di garasi, waktu sampai di rumah hari sudah petang namun belum terlalu gelap. Rama melepas helmnya, mengurut dadanya lagi.
Rama ragu apakah harus berlaga menjadi tamu, atau langsung masuk seperti biasa?
"Dikit aja Mas Rama nggak suka yang asin."
"Bairin aja, kamu kalau masak bumbunya gak kerasa. Satu bungkus sekalian tuangin gak ngaruh kok."
"Apaan sih?! Nggak, jangan dituang semua goblok!"
"Eh eh eh, pada ributin apa sih, kedengeran sampai luar loh." Rama berkacak pinggang melihat keributan adik-adiknya.
Rafis dan Reva melongo menatap wajah Rama.
"MAS RAMA!" Reva berlari tanpa ancang-ancang langsung memeluk Rama kuat.
Rama yang sudah lelah sejak tadi pun tidak siap menahan pelukan Reva, tubuh Rama terus terhuyung beberapa langkah hingga punggungnya membentur tembok dan masih ditimpa Reva dari depan.
Rama meringis merasa dadanya seakan semakin terhimpit karena dekapan Reva.
"Weh Mas?" Rafis menghampiri Rama tak menyangka tubuh Rama akan selemas itu menahan pelukan Reva.
Rama menegakkan kembali punggungnya. Ia tak boleh kelihatan sakit di depan mereka, hari ini mereka ingin menikmati waktu bersama Rama sebentar saja, jadi Rama harus menyenangkan mereka.
"Gapapa, cuman kaget kok." Rama menjawab pandangan Rafis.
"Kok sampai nggak kuat nahan gitu? Emang Reva kekencengan ya meluknya? Soalnya kangen, maaf ya Mas." Reva memeluk Rama lagi. Rama mengusap punggung Reva.
"Meluk Mas Rama serasa meluk Bunda tau, makanya Reva suka," beo gadis itu nyaman mencium hodie Rama di bagian dada.
"Just kidding lu gelap, Va. Plis deh," tegur Rafis.
Rafis kembali melanjutkan acara masak yang tertinggal begitu saja.
"Mas hari ini Reva mau cerita banyaaaak boleh?" Reva mendongak lucu menatap tiap inchi pahatan wajah Rama.
"Boleh dong, apasih yang gak buat kamu?" Rama menangkup pipi Reva.
"Emmmm!" Reva menarik pinggang Rama, mendekap tubuh kakak pertamanya itu dengan erat menyalurkan rasa rindu yang sudah lama ia bendung.
Rama mengerjap sambil mengusap punggung Reva. Mau menyuruh Reva udahan meluknya tetapi Rama tak enak, sungguh betapa besar rasa sayang Reva kepadanya hingga melihat Rama datang saja ekspresi Reva langsung ceria. Hati kakak mana yang tidak bahagia melihat adiknya tersenyum selebar itu? Bahkan Rama rela jika dirinya harus berkorban demi melihat adik kesayangannya bahagia.