Sore ini Rama ditemani Reva pergi ke apotik untuk membeli obat pereda sakit kepala yang akan diberikan pada Rafis. Sejak semalam tubuh Rafis demam, ketika salah satu adiknya sakit Rama juga yang kerepotan.
Andai Rendi tau anak tengahnya sudah berani mencicipi alkohol bersama teman sepergaulannya, mungkin malam itu juga Rendi meminta Rafis keluar dari lingkaran pertemanan tersebut. Rendi memang seorang Ayah yang tegas dalam mendidik putra-putrinya.
Sebelum pulang ke rumah, Rama menyempatkan diri singgah sejenak di alun-alun menanti seseorang yang seharian ini belum Rama lihat wajahnya.
"Mas Rafis masih pusing-pusing Mas?" tanya Reva bersandar di pundak Rama sambil menikmati molen hangat.
"Iya tadi, biarin aja. Biar kapok nggak mendhem lagi," jawab Rama. Semalam dia sudah mengguyur Rafis menggunakan air, padahal nanti malam Ayah mereka sudah pulang. Kenakalan Rafis kali ini tidak akan Rama laporkan kepada Ayahnya.
"Mas Rama nunggu siapa? Bukannya kita harus segera pulang kasih obat ini ke Mas Rafis?" tanya Reva mengangkat kresek berisi obat. Satu tangan Reva menenteng gorengan, satunya lagi menenteng obat.
"Mas nunggu Mbak Sinta, sebentar ya," ujar Rama merangkul pundak adiknya.
"Ohh..." Reva mengangguk paham.
"Mas Rama sama Mbak Sinta, kenalnya juga di SMP ini?" Reva memandang sebuah sekolah yang berdiri megah tepat di depannya.
Rama mengangguk tersenyum.
Matanya memandang takjub bangunan yang tak pernah luntur kewibawaannya. Sejak dulu hingga sekarang, mantan sekolahnya itu tetap menjadi primadona seluruh kecamatan. Tak heran mengapa bisa disebut SMP Favorit, karena memang di sana diajarkan menjadi siswa teladan nan berwibawa seperti nama sekolahnya.
Wiramandala.
Wiramandala memiliki arti yaitu Wira berarti pemimpin dan Mandala yang berarti kekuasaan atau teritorial. Suatu kebanggan bisa bersekolah di tempat itu.
"Lama banget kenalnya, bisa ceritain nggak Mas awal mula kalian kenal?" tanya Reva kepo. Dia mendongak menatap Masnya yang tersenyum-senyum.
"Kamu tau kelas 7E? Itu kelasnya Mbak Sinta." Rama mencabuti rumput liar di alun-alun tersebut, ia seperti dibawa kepada ingatan enam tahun silam. Masa-masa dimana Rama masih duduk di bangku SMP, dimana sekolah hanya berisi materi dan materi. Berbeda jauh ketika dirinya masuk SMK, sebagian besar muridnya laki-laki dan Rama jarang mendapatkan materi. Dia lebih fokus praktek dan mengembangkan keterampilannya.
"Senyuman Mbak Sinta kelewat manis, sampai-sampai Mas nggak bisa deket sama cewek lain." Rama menggeleng pelan, ia terkekeh.
"Heleh.. nanti kalau Mbak Sinta dateng aku aduin loh." Reva menoyor pundak Rama.
"Eh jangan. Malu wei," kata Rama.
"Aku aduin, wlek!" Reva menjulurkan lidahnya.
"Kamu aduin Mas kurangin saku kamu, mau apa kamu hah?" tantang Rama.
Reva mendelik, "curang ih bawa-bawa saku."
"Alah kamu juga kalau mau sekolah lama banget kenapa? Dandan dulu kan? Pasti udah ada do'i di sekolah," Rama menuding wajah Reva.
"E-enggak. Aku belum ada do'i," Reva mengelak.
"Alah..." Rama meminum es teh yang terbungkus kemasan cup sambil melirik Reva dengan tatapan tidak percaya.
"Cowok Wiramandala masa nggak ada yang luluhin hati kamu." imbuh Rama menaikkan alisnya.
"Ada sih, tapi kakel," jawab Reva.