20: Hangatnya Persaudaraan

1.4K 135 15
                                    

"Mas bangun Mas," Rafis menggoyangkan lengan Rama yang terkulai ke arah bawah.

Posisi tidur Rama terlihat tidak nyaman, sebagian tubuh Rama tidak sepenuhnya berada di ranjang. Rafis pastikan, jika Rama menggerakkan badan pasti tubuh Mas-nya itu sudah jatuh menghantam lantai.

Rafis mengangkat tangan Rama, lalu sedikit menarik badan Rama supaya lebih berada ke tengah kasur.

"Mas," Rafis menggoyang-goyangkan pundak Rama.

Rama membuka mata pelan mendengar keributan suara Rafis serta tepukan dari berbagai arah. Mata Rama terbuka lalu tertutup lagi---sampai wajah Rafis terlihat jelas.

"Kok inhaler di bawah, posisi Mas juga hampir jatuh gitu. Mas gapapa?" tanya Rafis.

Rama bangun, masih bernapas menggunakan mulut tipisnya. "Kemarin jatuh inhalernya," jawab Rama.

"Napas kamu kedengeran Mas, belum sembuh juga tah?" Rafis melihat dada Rama yang lumayan kembang-kempis sejak tadi.

"Sesek, Fis. Tapi nggak papa kok. Oh iya hari ini Kunjungan Industri, manfaatin waktu kamu sebaik-baiknya." kata Rama sambil melipat selimut, lalu beranjak turun dari atas ranjang.

"Tapi, Mas beneran nggak papa aku tinggal? Di rumah cuman sama Reva lho," Rama menoleh menatap wajah cemas Rafis.

"Heleh kamu ini, nggak papa lah, ntar kalau makin parah Mas langsung ke rumah sakit. Mas janji nggak akan bikin Reva kebingungan lagi. Udah, ayo bikin sarapan," Rama mendorong pundak Rafis dari belakang.

Meski semalam Rama kesakitan karena sesak napas, pagi ini dia sudah kembali berperan menjadi Ibu sekaligus Abang untuk adik-adiknya. Rama memasak sayur bening dari bayam dan wortel, porsi yang Rama masak tidak terlalu banyak cukup secukupnya saja.

"Ayah kapan pulang, Mas?" tanya Rafis disela kegiatan sarapan bersama.

"Oh iya, lupa mau nanya," Rama menjawab sambil mengunyah nasi.

"Nanti Mas jualan?" Rafis mendongak sesekali menatap wajah Rama yang terlihat belum segar.

"Mungkin, iya. Tapi, nggak tau juga, lihat kondisi dulu ya," Rama menelan nasi hanya dalam dua kunyahan.

Uhuk! Uhuk!

Rama tiba-tiba terbatuk. Reva sigap memberikan air minumnya untuk Rama yang selalu minum nanti setelah makan.

"Makanya kalau makan nggak usah ngobrol," Reva menatap tidak bersahabat ke arah Rama dan Rafis bergantian. 

Rama meminum sisa air di dalam gelas. Mengelus tenggorokan yang perih akibat gatal yang tiba-tiba mendera membuatnya terbatuk-batuk.

"It's okay." Rama menganggukkan kepala mengisyaratkan dirinya baik-baik saja.

"Kamu berangkat ke sekolah mau dianter atau gimana?" tanya Rama mengambil piring bekas sarapan dijadikan satu.

"Biar aku aja, Mas," Reva mengambil alih tumpukan piring kotor yang hendak Rama bawa ke wastafel.

Rama mengangguk, sedikit minggir memberikan Reva ruang.

"Aku bareng Arlo aja." kata Rafis meminum air putih, lalu memberikan gelas bekas minumnya kepada Reva supaya dicuci.

"Terus motornya Arlo gimana? Ditinggal di sekolah?" tanya Rama.

"Katanya iya, biar nanti dibawa tetangganya pulang. Tetangga dia masih kakak kelas kita." ujar Rafis.

Rafis melirik Reva sebentar, gadis itu masih diam. Semarah itu kah?

Sepuluh menit kemudian, Rafis sudah menggendong tas besar. Dia akan segera berangkat ke Bali, tadi sudah melakukan panggilan video bersama Ayah. Meminta doa restu supaya diberi keselamatan dari berangkat sampai pulang, kali ini Rafis pergi lumayan jauh. Bahkan sampai lima hari.

RAMA✔️  [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang