Sudah kasih komen dan vote di chapter 15?
Kalau sudah makasih ya😊 silahkan membaca chapter 16.
Happy Reading, you all!
Hari weekend Mall di Solo sedang rame-ramenya. Terlihat banyak orang dari berbagai kalangan usia tengah berbelanja barang, apalagi sedang diadakan diskon besar-besaran membuat mereka semakin konsumtif.
"Ram, bagus yang ini? Apa ini?" Sinta tidak ketinggalan. Ia membawa Rama memilih baju-baju yang sedang di bawah harga diskon.
"Yang ini bagus, cocok sama kulit kamu." Rama menuding blus batik berwarna cerah, seperti kulit Sinta yang berjenis kuning langsat.
"Mmm ... ini ya? Aku keep deh. Bentar, aku mau lihat-lihat ke sana." Sinta berjalan mendahului Rama. Matanya dimanjakan dengan fashion kantor yang elegan. Rasanya Sinta ingin membeli semua.
Lima menit melihat baju, Rama sudah selesai dengan pilihannya. Tidak seperti Sinta yang harus mengelilingi tempat tersebut. Rela berdesak-desakan demi membandingkan harga. Untung Rama orang yang sabar, jika ditanya Rama akan memberikan pendapat sesuai yang dia lihat. Bagus bilang bagus, enggak cocok ya bilang enggak cocok.
"Menurut kamu aku lebih cocok pakai yang mana?" Sinta memberikan dua pilihan kemeja berwarna.
Rama memegang lengan kemeja tersebut. "Yang ini kainnya adem, kayanya enak dipakai." pendapat Rama.
"Tapi ... aku kurang suka sama warnanya. Kita cari ke situ lagi yuk." Sinta menggandeng tangan Rama.
Ya ampun ... dasar cewek.
"Kamu cuman beli satu?" Sinta memilih baju sembari ngobrol dengan Rama yang berjalan di belakangnya.
"Ram?"
Rama menunduk, kepalanya pusing melihat keramaian sebanyak ini.
"He'em, cuman beli satu." sahut Rama mengangkat kepalanya yang mulai terasa berat.
"Kamu kaya pucat deh," Sinta menatap wajah Rama. Reflek Rama membasahi bibir yang nampaknya kering.
Rama mengerjab merasa eneg berada di tempat ramai seperti sekarang.
"Aku nggak papa, ayo ke kasir." ajak Rama.
Menunggu antrian di kasir, Rama terus terpejam menata nafasnya. Bukan kambuh, Rama pastikan ia hanya sesak saja.
"Kenapa, hey?" Sinta melihat Rama mulai terengah dalam bernapas.
"Nggak papa." Rama mengusap dadanya pelan, ia yakin tak akan kenapa-napa.
"Tangan kamu dingin banget," Sinta menggenggam jemari Rama, baru sadar Rama berkeringat dingin membasahi kening sampai lehernya.
Rama tetap tenang. Ia tak boleh panik karena kepanikan akan membuat dirinya semakin sulit bernapas. Tetapi berjalan di tengah ramainya orang, membuatnya merasa seakan lantai Mall mengambang.
Rama menjatuhkan barang yang berisi baju tersebut, ia membungkuk. Pijakannya baru saja berputar seperti gasingan.
"Ram, kenapa?" Sinta memegang pundak Rama.